Peristiwa Daerah

Mbah Djaiman, Panglima Perang Pangeran Diponegoro yang Makamnya di Pacitan

Rabu, 31 Agustus 2022 - 14:03 | 294.77k
Makam Mbah Djaiman di Gunung Pethit, Dusun Ngasem, Desa Gembong, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Makam Mbah Djaiman di Gunung Pethit, Dusun Ngasem, Desa Gembong, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PACITAN – Di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur terdapat sebuah makam bersejarah yang tak lain adalah tempat persemayaman terakhir Mbah Djaiman sang panglima perang Pangeran Diponegoro semasa melawan penjajah Belanda. 

Menurut penuturan Kepala Dusun Ngasem, Zainal Abidin sejarah Mbah Djaiman tercatat pada manuskrip meskipun secara parsial kemudian diperkuat dengan pengakuan para sesepuh setempat. 

Advertisement

"Yang saya dengar dari para sesepuh Desa Gembong, Mbah Djaiman ini asalnya dari kalangan Keraton Yogyakarta. Dulu almarhum Mbah Karnen juga pernah cerita seperti itu, memang menjadi panglima perangnya Pangeran Diponegoro," katanya, Rabu (31/8/2022). 

Tampak-peziarah-berdoa.jpgTampak peziarah berdoa di pusara makam Mbah Djaiman sang panglima perang Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia) 

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, lanjut Zainal, sebagian besar pengikutnya melarikan diri dan menyebar ada yang sampai ke wilayah Pacitan bagian timur. 

"Jadi tidak langsung ke Ngasem. Sebelumnya sempat singgah di Padi, Tulakan, di sana ada petilasannya. Kemudian di Gunung Limo, karena istrinya orang sana. Setelah dari Ketepung, lalu Mbah Djaiman berpindah ke wilayah selatan Desa Gembong," terangnya. 

Lebih lanjut pria yang juga menjadi Kuwu Adat setempat itu menyatakan, jika Mbah Djaiman memiliki nama ningrat Raden Suryo Buwono sebelum akhirnya diganti nama oleh Kanjeng Jimat pada suatu saat.

"Jadi tempat persinggahan terakhirnya itu di wilayah Nganyang, Dusun Ngasem, tepatnya di puncak Gunung Pethit. Satu masa dengan Kanjeng Jimat, karena tidak sependapat dengan pemerintahan yang mendukung Belanda, lalu Suryo Buwono diganti Djaiman," jelas Zainal. 

Lokasi-makam-Mbah-Djaiman-atau-Raden-Suryo-Buwono.jpgLokasi makam Mbah Djaiman atau Raden Suryo Buwono berada di ketinggian 1.000 meter pedalaman Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia) 

Terkait peran Mbah Djaiman sebagai panglima perang Pangeran Diponegoro, menurut Zainal adanya beberapa peninggalan sebagai penguat bukti sejarah, seperti pedang kangkang dari Persia dan gendewa panah. 

"Kalau bukan panglima, tak mungkin punya pusaka seperti itu. Mbah Djaiman pernah dihukum pangeran Diponegoro untuk memimpin peperangan melawan penjajah di Desa Glesung, Kecamatan Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jateng," ujarnya. 

Selain panglima perang, seperti dalam manuskrip, Mbah Djaiman diyakini sebagai orang sakti yang bisa membabat alas di tempat-tempat wingit. Tak hanya itu, nuansa dakwah selalu melekat dalam setiap perjalanan menyusuri pedalaman Pacitan. 

"Saya yakin, mbah Djaiman adalah orang sakti, selain pejuang perang, juga pendakwah. Ajarannya mulai syariah, tariqah, hakikat hingga makrifat. Dalam keterangan manuskripnya, ada catatan dawuh dari Kanjeng Syekh Abdul Qodir Jaelani," kata Zainal saat ditemui TIMES Indonesia. 

Ada cerita unik mengenai tempat bermukim Mbah Djaiman, yakni asal-usul Lingkungan Nganyang. 

"Kalau tempat tinggalnya sekitar 1 kilometer dari makam, dinamakan nganyang karena airnya kadang keluar kadang tidak kayak orang anyang-anyangan," imbuhnya. 

Untuk mengenang perjuangan Mbah Djaiman atau Raden Suryo Buwono, anak turun dan warga setempat menggelar peringatan haul setiap bulan Syawal Hijriyah. 

"Anak turunnya sekarang ke-lima dan tersebar di mana-mana, ada yang sampai di Jakarta. Haulnya diperingati setiap malam Kamis Legi bulan Syawal. Tempatnya di pusara makam mbah Djaiman di Gunung Pethit," ucap Zainal. 

"Yang paling familiar, putra satu-satunya yang memiliki keturunan sampai sekarang karena memiliki dua istri itu ya Mbah Mat Kasan. Meninggal di Laut Merah sewaktu pergi haji ke Mekah," pungkasnya. 

Sampai saat ini, keberadaan makam Mbah Djaiman masih terawat dengan baik. Tak jarang anak turun dan warga sekitar menziarahi pada waktu tertentu. Bahkan beberapa kalangan Pondok Pesantren kerap menggelar rutinan maulid Nabi SAW. 

Demikianlah sejarah Mbah Djaiman, sang panglima perang sekaligus benteng terakhir Pangeran Diponegoro yang makamnya ada di Kabupaten Pacitan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES