Mengulik Rekam Jejak Sejarah Ekonomi Kota Kediri

TIMESINDONESIA, KEDIRI – Sejak jaman kerajaan, Kediri sudah menjadi salah satu pusat perdagangan di Pulau Jawa. Masa ini yang menjadi awal sejarah ekonomi Kediri. Posisi tersebut makin menguat pada masa kolonial Belanda, dimana tebu menjadi salah satu komoditas utama yang diekspor.
Selain itu juga masih ada komoditas lain seperti kopi, indigo, lada, dan kayu manis yang menemani tebu untuk dikirim ke luar negeri melalui pintu pelabuhan Surabaya pada masa itu.
Advertisement
Kekuatan ekonomi tersebut itu juga yang menjadi alasan De Javasche Bank (DJB), bank yang diberi wewenang oleh pemerintah kerajaan Hindia Belanda menjalankan sirkulasi uang dan ekonomi untuk mendirikan kantor cabangnya di Kediri, yaitu DJB Agentschap Kediri pada 2 Juli 1923. Kehadiran kantor di lokasi yang saat ini menjadi wilayah Kelurahan Pocanan, Kecamatan Kota, Kota Kediri itu memiliki peran penting bagi perekonomian Hindia Belanda.
"Keputusan DJB untuk mendirikan kantor cabang di Kediri ini dilatarbelakangi oleh kondisi wilayah Kediri sebagai salah satu sentra perkebunan terbesar di wilayah Jawa Timur dan berhasil menjadikan Kediri sebagai kota industri yang yang makmur di pedalaman Jawa. Pada awal abad 20 Kediri telah menjadi kota kolonial modern dengan industri andalan adalah gula. Di mana produksi gula bahkan mampu memenuhi kapasitas ekspor internasional. Sementara sektor lainnya adalah pertanian yang bertumpu pada padi dan palawija, " jelas Direktur Bank Indonesia Institute (BINS) Arlyana Abubakar, Rabu (31/08/2022) di sela peluncuran dan bedah buku berjudul Membangun Kemakmuran di Pedalaman: Bank Indonesia dalam Perkembangan Ekonomi Kediri.
Dalam buku itu turut diceritakan bagaimana selepas kemerdekaan, DJB dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia dan juga Bank Sentral Republik Indonesia pada tahun 1953. Sebagai dampaknya, beberapa eks kantor cabang DJB yang berada di berbagai daerah beralih menjadi kantor cabang Bank Indonesia. Salah satunya adalah DJB Agentschap Kediri, yang sekarang dikenal sebagai Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Kediri.
Di era modern sendiri kota Kediri juga terus bertransformasi. Dari yang sebelumnya menjadi salah kota utama industri tembakau, menjelang dioperasikannya Bandara Dhoho, kota Kediri juga bersiap untuk berubah menjadi kota Aerotropolis.
"Kota-kota yang nantinya diharapkan tumbuh pertumbuhan ekonomi baru dari aktivitas Bandara, mungkin kargo intermoda, pusat pergudangan, serta menjadi kawasan ekonomi khusus, dan kedepan menjadi kota yang akan fokus pada sektor pariwisata khususnya MICE," tutur Kepala Kantor Perwakilan BI (KPwBI) Kediri Moch. Choirur Rofiq.
Ia menambahkan, dengan posisi Kota Kediri yang berada di tengah sejumlah daerah penghasil komoditas ekonomi besar seperti telur di Blitar, Cabai di Kabupaten Kediri, Nganjuk dengan bawang merah, serta kopi di Tulungagung.
"Ini menjadi kesempatan berkembangnya Kota Kediri setelah adanya bandara internasional. Kami berharap bahwa buku sejarah Bank Indonesia dan perkembangan ekonomi Kota Kediri ini bisa menjadi inspirasi, pemerintah Kota Kediri maupun Kabupaten Kediri atau kalau kami sebut Kedi Raya dan bagi masyarakat Kediri untuk menyambut nanti bandara setelah beroperasi. Utamanya dalam rangka membangkitkan ekonomi Kediri pasca pandemi COVID-19 dan menggapai kembali masa-masa kejayaan Kediri sebagai kawasan industri, pertanian, serta perniagaan," pungkas Moch. Choirur Rofiq.
Turut hadir sebagai pembicara Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Jember, Prof. Nawiyanto, Ph.D.; Dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Dr. Sarkawi B. Husain; dan Dosen Ekonomi Universitas Jember, Aditya Wardono, Ph.D; dengan moderator Analis Eksekutif BINS, Rita Krisdiana. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rizal Dani |