Kerugian Nikah Siri pada Kaum Perempuan dan Legalitas Hukum Anak

TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Nikah siri atau yang akrab dikalangan masyarakat kita menyebut 'Kawin Siri' bukanlah pernikahan yang dapat direlevansikan dengan maksud negatif, melainkan sebaliknya, yang mana pernikahan tersebut terjadi karena tujuan mulia pasangan yang menghindari perzinahan.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama.
Advertisement
Perempuan yang dikenal sebagai aktivis sosial yang gentol dalam perjuangkan nasib perempuan dan anak di Jatim tersebut mengungkapkan jika pernikahan siri dilangsungkan secara agama, tetapi pernikahan tersebut belum resmi secara hukum negara.
Dan banyak potret di masyarakat jika pernikahan siri biasanya dilakukan pria yang ingin memiliki lebih dari satu istri atau lakukan poligami.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama saat mengendong anak yang dilahirkan Ibu di Sidoarjo korban bujuk rayu oknum polisi sehingga lakukan pernikahan siri (FOTO dok Lia Istifhama)
"Faktanya pernikahan siri yang dirugikan adalah kaum Perempuan. Terlebih, tatkala keinginan mulia seorang perempuan agar pernikahan tersebut dapat diakui oleh negara, harus gagal disebabkan situasi suami yang dilarang menikah lebih dari satu istri atau poligami. Lebih-lebih bila terjadi perceraian, maka pihak wanita yang menikah siri, tidak akan dapat menuntut apa-apa dari pihak suami. Tidak akan mendapat perlindungan dan pembelaan dari pemerintah dalam menuntut hak-haknya dari mantan suaminya, karena data pernikahan mereka tidak tercatat di Departemen Agama atau Pemerintah," kata Lia yang akrab disapa Ning Lia ini kepada TIMES Indonesia, Selasa (13/9/2022).
Lia yang juga menjabat sebagai Ketua Perempuan Tani HKTI Jatim ini mengungkapkan jika di Indonesia ada beberapa jenis profesi kerja yang memiliki ikatan dinas terkait larangan poligami atau istri lebih dari satu.
Lantas, apakah hal tersebut bertentangan dengan agama? Ning Lia menjawab tegas tidak.
Karena setiap agama pun tidak menganjurkan adanya poligami, melainkan diperbolehkan poligami dalam situasi tertentu, yaitu memberikan kemasalahatan dan menjauhkan dari kemafsadatan (kerusakan).
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama saat mengendong anak yang dilahirkan Ibu di Sidoarjo korban bujuk rayu oknum polisi sehingga lakukan pernikahan siri (FOTO: dok Lia Istifhama)
"Namun situasi menjadi pelik tatkala seorang lelaki yang secara sadar mengetahui bahwa dirinya dilarang melakukan poligami, ternyata nekat mendekati perempuan yang bukan istrinya, dan kemudian menjeratnya dalam pernikahan siri. Menjadi sangat rumit tatkala kemudian hubungan pernikahan siri tersebut menghasilkan buah cinta, yaitu sosok anak yang berhak mendapatkan kasih sayang utuh orangtuanya," ungkapnya.
"Dari jerat pernikahan siri yang hanya berdasarkan nafsu, tentu sangat merugikan kaum perempuan dan sang buah hati hasil kawin siri tersebut," imbuh Lia.
Keponakan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansah ini mengharapkan masyarakat tidak mudah terjebak framing negatif kepada perempuan yang terjerak dalam pernikahan siri.
"Seyogyanya masyarakat jangan mudah terjebak untuk membuat judgement atau menghakimi bahwa Pernikahan Siri adalah tindakan negatif, melainkan harus kita bangun pikiran obyektif agar kita mampu menelaah situasi tanpa menghakimi salah satu pihak saja," paparnya.
Masih kata Lia, terkait pernikahan siri adalah sah secara agama, bukan berarti melukai istri pertama yang telah sah sebelumnya.
Setidaknya kalimat tersebut kemudian harus dipahami secara utuh dan komperehensif.
Dalam hal ini, upaya menerima situasi secara obyektif, bukan kemudian membuat salah satu pihak lainnya terluka.
"Tatkala seorang istri pertama menyadari kesalahan suaminya yang melakukan pernikahan siri hingga adanya sang buah hati maka berbesar hati akan menjadi pilihan mulia. Sebaliknya, tatkala seorang istri pertama memilih bersikap defensif dan cenderung menjadi benteng suami agar tidak melakukan poligami, maka kemanakah sisi kemanusiaannya, dan bagaimana nasib anak yang sudah lahir karena pernikahan siri secara agama itu," jelasnya.
Dalam fenomena pernikahan siri, Lia menegaskan tidak sedang menghakimi pihak manapun.
Dia hanya berpesan agar kaum perempuan tidak terjebak dalam bujuk rayu sehingga mau dijerat dalam ikatan pernikahan siri oleh pria yang tidak bertanggung jawab.
"Pernikahan sejatinya adalah untuk membawa kebahagiaan dan kemaslahatan. Karena itu kaum perempuan harus berpikir cerdas. Jangan terlalu bermain dengan perasaan sehingga sudah tidak dapat berfikir rasional lagi. Misalnya, saking cintanya, maka dengan rela dinikahi secara siri. Pertimbangkanlah masa depan diri dan anak. Jangan egois dengan diri sendiri. Pernikahan itu bukan untuk dijalani dalam hitungan waktu yang pendek, tetapi harus ditegakkan sampai akhir hayat," pesan Lia.
Lebih lanjut Ning Lia menegaskan jika negara sudah mengeluarkan Undang-Undang (UU) No 1/1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam UU itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA.
“UU Perkawinan itu dilahirkan untuk kemaslahatan umat. Karena itu, produk hukum itu harus diikuti umat muslim. Pernikahan adalah suatu ibadah yang agung, sampai Allah SWT pun menyebut perjanjian dalam pernikahan sebagai perjanjian yang kuat/kokoh (mitsaqon ghalidza)," pungkasnya soal Nikah siri. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dody Bayu Prasetyo |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |