Peristiwa Daerah

Kisah Kesaktian Ki Ageng Petung di Bumi Wengker Selatan Pacitan

Kamis, 15 September 2022 - 17:05 | 494.56k
Makam Ki Ageng Petung dan kisah kesaktiannya zaman dahulu di Wengker Selatan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Makam Ki Ageng Petung dan kisah kesaktiannya zaman dahulu di Wengker Selatan Pacitan. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PACITAN – Membicarakan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur seolah tidak akan ada habisnya. Banyak kisah yang melegenda dari perjalanan hidup orang terdahulu. Seperti kisah kesaktian Ki Ageng Petung saat mendakwahkan Islam di Bumi Wengker Selatan

Mengenai siapa sejatinya sosok ulama itu, yang sejauh ini kerap diceritakan melalui berbagai versi dan sumber. Demi membuktikannya, penulis mencoba menelisik lebih dalam kepada sesepuh setempat, yakni juru kunci makam Ki Ageng Petung

Advertisement

Juru kunci makam Ki Ageng Petung, Ahmad Tohari (70) membuka lembar demi lembar catatan dengan hati-hati. Rupanya, tak sembarang orang bisa memperoleh buku tersebut. Sambil menghela nafas, pandangannya menatap tajam. 

Makam-Ki-Ageng-Petung-2.jpgMakam Ki Ageng Petung di Serayu, Kembang, Pacitan didatangi peziarah pada saat-saat tertentu. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

"Nama asli Ki Ageng Petung adalah Sunan Siti Geseng yang merupakan utusan Kerajaan Demak Bintoro. Menurut tahun Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Wengker Selatan sekitar 1.480-an Masehi. Dikenal sebagai babat ajaran Islam pertama kali di sini. Waktu itu masih hutan belantara," katanya, Kamis (15/9/2022). 

Ketika itu, lanjut Tohari, Ki Ageng Petung datang membawa sebuah tongkat dari bambu berukuran gagang arit lalu ditancapkan di selatan sungai (grindulu). Sebagaimana kebiasaan orang dahulu, sebelum menetap di suatu tempat ada tradisi spiritual yang harus ditempuh, yaitu 'semedi' atau meditasi. 

"Sebelum bersemedi di sebuah tempat selama 10 tahun, namanya Luweng Sewu, tongkat bambu tersebut ditancapkan di dekat sungai. Makanya Siti Geseng kelak terkenal disebut Ki Ageng Petung yang artinya seorang raden pemilik tongkat bambu petung," terang dia kepada TIMES Indonesia di kediamannya. 

Usai melakukan pertapaan, Ki Ageng Petung merasa kaget saat membuka kedua mata dan melihat kepulan asap dari arah timur. Sontak penasaran setengah tidak percaya, dalam hati bertanya, berarti ada penghuni lain yang telah lama tinggal di kawasan tersebut. 

"Setelah diselidiki sosok dalam cerita itu bernama Ki Buwono Keling. Dia mengaku, telah menempati wilayah tersebut sejak akhir abad ke-12 atas titah kerajaan Majapahit penganut Hindu. Ki Ageng Petung lantas bermaksud merangkul Buwono untuk masuk ke dalam Islam.

Makam-Ki-Ageng-Petung-3.jpgJuru Kunci Makam Ki Ageng Petung, Ahmad Tohari saat ditemui di kediamannya. (FOTO: Yusuf Arifai/TIMES Indonesia)

Namun Ki Buwono Keling menolak, dia pun memerangi Ki Ageng Petung. Dalam waktu bersamaan, kabar itu juga didengar oleh Ampok Boyo yang juga mendapat titah Raja Demak Bintoro diperkuat dengan pasukan Adi Pati Wengker Bathara Katong dari Ponorogo. 

Ada cerita menarik berkaitan dengan datangnya Ki Ampok Boyo di Wengker Selatan yang cukup dramatis sebagaimana diceritakan Ahmad Tohari, salah satu pemegang salinan buku sejarah Babad Pacitan. 

Adu Kesaktian Dua Utusan Demak Bintoro

Ampok Boyo bertanya kepada Ki Ageng Petung, "Anda siapa?Kapan datangnya?"
Ki Ageng Petung menjawab,

 "buktinya ini, bambu yang sudah saya tancapkan selama 10 tahun sekarang sebesar paha,"

Ki Ampok Boyo pun tertegun dan berkata dalam hati "berarti saya kalah tua," ucap Tohari seperti dalam buku. 

Merasa saling klaim siapa yang lebih dulu datang, lalu keduanya membuat kesepakatan, Ki Ampok Boyo masih mengelak jika pohon kelapa yang dia tanam sudah setinggi atap rumah. 

"Bagaimana Ki Ageng, bambu anda baru berusia 10 tahun. Kelapa saya ini usianya lebih dari 15 tahun," ujarnya sambil mengejek. 

Tak kurang akal, Ki Ageng Petung lalu menghadap Syekh Maulana Maghribi, seorang penyiar Islam khusus untuk bersedia memberikan kesaksian kepada Ki Ampok Boyo. 

Setelah dilihat, secara fisik, kelapa Ki Ampok Boyo memang lebih tua ketimbang bambu yang ditancapkan Ki Ageng Petung. 

"Namun, siapa sangka, saat kelapa tersebut ditarik daunnya oleh Ki Ageng Petung bisa roboh dengan mudah. Seharusnya jika berumur 15 tahun kokoh. Ternyata, usut punya usut kelapa tersebut baru saja dipindah dari Ponorogo oleh Ki Ampok Boyo. Ketahuan berbohong, Ki Ampok Boyo lalu diberi julukan Ki Ageng Posong," papar Tohari. 

Sejatinya, kedua tokoh tersebut sama-sama utusan Kerajaan Demak Bintoro yang diberikan tugas untuk berdakwah Islam di Wengker Selatan sebelum berubah nama menjadi Pacitan. 

"Setelah itu, keduanya bersepakat untuk mengajak Ki Buwono Keling yang terkenal sakti untuk memeluk Islam. Merasa terusik, Ki Buwono Keling lalu bertempur melawan kedua utusan Demak Bintoro. Konon, Ki Buwono Keling bukan lawan yang mudah ditaklukkan begitu saja. Nyawanya seolah rangkap. Dalam ilmu Jawa kuno sosok sakti itu memiliki ajian pancasona. Meski tubuhnya dicincang masih dapat utuh kembali," katanya lagi. 

Mengetahui hal tersebut, lanjut Tohari, Ki Ageng Petung dan Ki Ageng Posong menemui Syekh Maulana Maghribi untuk meminta saran agar bisa mengalahkan Ki Buwono Keling. Setelah keduanya meminjam keris pusaka milik Syekh Maulana Maghribi, lalu kembali bertempur. Ternyata berhasil mengakhiri hidup Ki Buwono Keling. 

"Kepalanya dibuang di sebelah utara sungai, tubuhnya di sebelah selatan. Tamatlah riwayat Ki Buwono Keling. Cerita-cerita yang beredar belum tentu sama dengan kejadian aslinya. Ini sesuai catatan yang saya pegang sampai sekarang. Cetakan tahun 1932 masih menggunakan aksara jawa, kemudian dirubah di Surabaya oleh seseorang tahun 1977 ejaannya pun belum EYD," jelas Ahmad Tohari. 

Selain itu, kata dia, agar bisa membuktikan keturunan Ki Ageng Petung masih ada apa tidak, menurut para sesepuh bisa dilihat dari peninggalannya berupa pusaka. 

"Istri saya masih menyimpan tombak konang dan keris gubeng peninggalan Ki Ageng Petung. Menurut sesepuh, memang asli," katanya sambil menunjukkan rangkuman silsilah nasab. 

Ditanya soal hikmah selama mengurusi makam Ki Ageng Petung, Ahmad Tohari mengaku mendapatkan sebuah isyarat berupa petuah atau wejangan untuk dijadikan pedoman hidup. 

"Pesan yang saya dapat hanya ini. Berjalanlah sesuai titahnya. Jangan terlalu kencang, jangan terlalu pelan. Sak madya saja," tutupnya menceritakan kisah kesaktian Ki Ageng Petung di Bumi Wengker Selatan. 

Hingga sampai sekarang, pusara makam Ki Ageng Petung masih bisa kita jumpai di Serayu, Desa Kembang, Kecamatan Pacitan, sekitar dua kilometer dari Alun-alun. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES