Peristiwa Daerah

Waduh, Peneliti UGM Sebut 2,45 Juta Remaja Indonesia Terindikasi Alami Gangguan Jiwa

Jumat, 14 Oktober 2022 - 13:41 | 155.39k
Ilustrasi - Penderita Gangguan Jiwa (FOTO: alodokter.com)
Ilustrasi - Penderita Gangguan Jiwa (FOTO: alodokter.com)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sekitar 2,45 juta remaja di Indonesia terindikasi mengalami gangguan jiwa. Setidaknya, indikasi ini tercermin dari adanya peristiwa dugaan bunuh diri oleh seorang mahasiswa UGM akhir pekan lalu. 

Peristiwa itu terjadi disaat jelang Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10  Oktober. Insiden ini tentu menambah urgensi penanganan masalah kesehatan mental dikalangan anak muda Indonesia.

Advertisement

Pakar Kesehatan Masyarakat UGM, Amirah Ellyza Wahdi mengungkapkan dari hasil penelitian terbarunya bersama pakar dari Australia dan Amerika Serikat terungkap bahwa, sekitar 2,45 juta remaja di Indonesia termasuk ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa.

"Penelitian tersebut kami lakukan bersama University of Queensland Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Amerika Serikat (AS), berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS)," kata Amirah dikutip dari suara.com, Jumat (14/10/2022). 

Amirah menjelaskan, rencananya penelitian ini akan terbit pada 20 Oktober 2022. Dalam penelitian itu, lanjut Amirah, pihaknya menemukan bahwa 1 dari 20 (sekitar 5.5 persen) remaja di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental.

"Ini mengacu pada Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-V) keluaran American Psychological Association (APA)," jelasnya. 

Menurut riset tersebut, berbagai potensi kondisi psikologis dan gangguan mental pada manusia memang mulai menunjukkan gejalanya pada usia kritis remaja atau dewasa muda.

Dengan populasi kelompok usia 10-19 tahun yang mencapai 44,5 juta jiwa, Indonesia harus mulai melakukan investasi di bidang kesehatan mental remaja.

Sayangnya, usaha untuk melakukan perbaikan kondisi kesehatan mental ini selalu terganjal satu hal. Yakni, tidak adanya data berskala nasional mengenai hasil diagnosis kesehatan mental remaja di Indonesia.

"Artinya, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), " ungkap Amirah.

Gangguan kecemasan menjadi gangguan mental paling umum di antara remaja 10-17 tahun di Indonesia (sekitar 3,7 persen).

Ini disusul oleh gangguan depresi mayor (1,0 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), serta gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing diderita oleh 0,5 persen populasi usia tersebut.

Gangguan kecemasan

Gangguan kecemasan dalam I-NAMHS terdiri dari dua jenis, yaitu fobia sosial (ketakutan berlebih secara khusus terhadap situasi sosial seperti presentasi di depan kelas) dan gangguan kecemasan menyeluruh (kecemasan berlebihan terkait beberapa kejadian atau aktivitas, misalnya mengenai ujian yang akan berlangsung).

Gangguan kecemasan ini bisa timbul akibat gabungan berbagai faktor, mulai dari genetik, sistem syaraf, keluarga, dan lingkungan sekitar. Di saat seseorang gagal meregulasi stres yang ia alami, hal ini dapat muncul sebagai gangguan kecemasan.

Gangguan kecemasan tergolong sebagai gangguan mental yang umum diderita. Tapi, bukan berarti gangguan ini bersifat ringan.

Menurut penelitian peneliti psikologi Terri Barrera dan Peter Norton dari University of Houston di AS, orang-orang yang menderita fobia sosial atau gangguan kecemasan menyeluruh cenderung memiliki kualitas hidup (dari kepercayaan diri, kepuasan finansial, hingga kehidupan asmara) yang lebih buruk dibandingkan orang-orang tanpa kondisi ini.

I-NAMHS juga memperlihatkan bahwa remaja yang menderita gangguan cemas akan cenderung mengalami gangguan fungsi, setidaknya pada satu ranah kehidupan mereka.

"Ada empat domain yang kami evaluasi dalam I-NAMHS: yaitu keluarga (masalah dengan orang tua, kesulitan beraktivitas bersama anggota keluarga); teman sebaya (masalah hubungan dengan teman sebaya); sekolah atau pekerjaan (kesulitan menyelesaikan tugas sekolah, performa akademik yang buruk) atau distres personal (rasa bersalah atau rasa sedih yang berkepanjangan), " tutur Amira.

Di antara remaja Indonesia yang mengalami gangguan mental, sebanyak 83,9 persen mengalami gangguan fungsi pada ranah keluarga, disusul oleh ranah teman sebaya (62,1 persen), sekolah atau pekerjaan (58,1 persen), dan distres personal (46,0 persen).

Selain itu, I-NAMHS juga menunjukkan bahwa sebenarnya ada lebih banyak lagi remaja di Indonesia yang mengalami beberapa gejala gangguan mental, namun tidak cukup untuk dikatakan menderita gangguan mental sesuai kriteria DSM-5.

Merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, mereka dikelompokkan sebagai Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Artinya, mereka sangat rentan untuk mengalami gangguan mental.

Hampir 35 persen (setara 15,5 juta) remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia terdiagnosis memiliki setidaknya satu masalah kesehatan jiwa dalam survei I-NAMHS sehingga masuk ke dalam kategori ODMK.

Rasa kecemasan adalah masalah gangguan mental yang paling banyak muncul di antara remaja di Indonesia (26,7 persen). Ini disusul masalah terkait pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas (10,6 persen), depresi (5,3 persen), masalah perilaku (2,4 persen), dan stres pascatrauma (1,8 persen).

Prevalensi depresi, masalah perilaku, dan masalah terkait pengelolaan perhatian dan/atau hiperaktivitas remaja laki-laki juga cenderung lebih tinggi dibandingkan remaja perempuan.

"Selain itu, kami menemukan remaja yang lebih muda (10-13 tahun) memiliki prevalensi masalah pemusatan perhatian dan/atau hiperaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang berusia lebih tua (14-17 tahun).

Sebaliknya, remaja yang berusia lebih tua memiliki prevalensi depresi yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang lebih muda," jelasnya.

Mengetahui beban penyakit mental pada populasi remaja di Indonesia hanyalah langkah awal untuk perencanaan program dan advokasi kesehatan mental remaja yang lebih baik.

Temuan I-NAMHS dengan jelas menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental dan gangguan mental adalah hal umum yang terjadi di antara remaja di Indonesia.

Nah, untuk menanggulangi beban gangguan dan masalah kecemasan, pemerintah Indonesia beserta pemangku kepentingan harus memprioritaskan program-program yang bertujuan membantu remaja dalam mengelola rasa cemas yang mereka alami.

Fakta bahwa sebagian besar dokter ahli jiwa dan psikolog klinis berpraktik di perkotaan membuat isu layanan kesehatan mental remaja menjadi hal yang harus jadi prioritas Indonesia. Di seantero negeri, misalnya, hanya ada sekitar 0,29 psikiater dan 0,18 psikolog per 100 ribu penduduk.

Bahkan, dalam riset tahun 2021 dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, sebanyak 96,4 persen dari hampir 400 remaja yang mereka survei kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.

Banyak dari mereka mengkritik layanan kesehatan di Indonesia yang belum tentu menjamin kerahasiaan dan cenderung menghakimi.

Mengingat bahwa hampir semua remaja di Indonesia bersekolah, tenaga kependidikan juga bisa menjadi alternatif utama untuk memastikan semua remaja yang membutuhkan dukungan kesehatan mental bisa mendapatkan bantuan dan rujukan yang layak.

Keluarga merupakan domain yang juga sangat berpengaruh dalam penanganan gangguan mental remaja.

Oleh karena itu, orang tua dan anggota keluarga lain juga harus saling teredukasi maupun mengedukasi mengenai kesehatan mental agar bisa membantu remaja dalam mengelola kesehatan mental sehingga tak berujung pada banyaknya gangguan jiwa seperti penelitian UGM. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES