Demi Sekolah, Siswa SD di Ngawi Harus Menyeberangi Bengawan Solo

TIMESINDONESIA, NGAWI – Sejumlah siswa sekolah dasar, asal Dusun Tanon, Desa Sidolaju, Kecamatan Widodaren, Ngawi harus menyeberangi sungai Bengawan Solo demi tetap bisa mengenyam pendidikan. Tidak adanya akses jembatan, dan agar mempersingkat waktu perjalanan, sampan penyeberangan menjadi satu-satunya pilihan.
Kurang lebih ada 10 siswa sekolah dasar yang harus menyeberang sungai Bengawan Solo. Ipan salah satunya. Siswa kelas IV SDN Sidolaju 5 itu, saban hari harus menggunakan jasa sampan penyeberangan untuk berangkat sekolah. Lokasi sekolahnya memang terpaut jauh dari rumah, sekaligus dipisahkan aliran sungai Bengawan Solo.
Advertisement
Surajianto pendayung sampan, mengantarkan penumpang, melewati derasnya arus bengawan solo.(FOTO: M.Miftakul/TIMES Indonesia)
Menyeberang sungai Bengawan Solo dengan sampan memang sudah jadi rutinitas warga apabila ingin keluar dari dusun. Termasuk bagi Ipan. Dia tetap bisa duduk dengan nyaman di atas lambung sampan. Tidak ada guratan rasa takut yang tergambar di wajahnya. Ipan seperti halnya orang dewasa dusun setempat. Tetap santai, meskipun kadang sampan agak goyang ketika menembus arus bengawan yang bergelombang.
“Ndak takut saya. Sejak kecil sudah terbiasa nyebrang pakai sampan,” kata Ipan kepada TIMES Indonesia, sepulang dari sekolah, Kamis (27/10/2022).
Ipan mengaku kelak ingin jadi polisi. Untuk itu, dirinya tetap ingin terus belajar. Meskipun harus melintasi aliran sungai Bengawan Solo, semangat Ipan bersekolah tidak bergeming. Apalagi penyeberangan itu jadi jalan yang paling efisien bagi dirinya dan masyarakat setempat. Kalaupun tak menyeberang, jalan yang harus dilewati terlampau jauh. Memutar berkilo-kilometer.
“Nanti kalau sudah besar pengen jadi polisi,” ujar Ipan sembari beranjak meniti tangga dermaga sampan, pulang menuju rumahnya.
Surajianto, Pendayung Sampan Mengantarkan Harapan
Surajianto (47) bisa dibilang orang yang paling berjasa di dusun setempat. Sejak subuh, dia sudah beraktivitas di atas sampannya. Ia mengantar para warga yang akan menyeberang sungai Bengawan Solo, atau mereka yang ingin menuju dusun tersebut. Aktivitas jasa penyeberangan itu, dia lakoni hingga lepas Isya'.
“Macam-macam keperluan warga yang nyebrang pakai sampan. Kalau anak sekolah, yang nyebrang, mulai dari TK hingga SMA,” kata Surajianto.
Surajianto menyebut, akses penyeberangan sampan jadi pilihan yang efisien bagi warga. Sebab, apabila memilih lewat jembatan di luar kecamatan, warga harus memutar jalan yang cukup jauh. Kira-kira satu hingga dua jam perjalanan dengan sepeda motor. Itu pun tergantung cuaca juga. Apabila musim hujan, jalan yang masih terbuat dari makadam, disebutnya cukup licin dan membahayakan.
“Kalau nggak hujan, satu jam bisa sampai jalan raya. Kalau hujan, bisa lebih lama. Jalannya licin, karena terbuat dari bebatuan,” katanya.
Sekali mendayung, sampan Suratjianto mampu membawa 7 sepeda motor berikut penumpangnya. Tiap kepala hanya dipatok ongkos Rp2.000 sekali menyeberang. Terbilang murah, ketimbang memutar arah. “Khusus untuk anak sekolah, gratis. Tidak dipungut tarif,” katanya.
Surajianto sudah belasan tahun menjadi pendayung sampan penyeberangan sungai Bengawan Solo. Pekerjaan itu dilakoni secara turun temurun. Pun penyeberangan itu terus berjalan, setiap waktu. Entah saat air sungai pasang atau surut.
“Pernah 2007 banjir parah, airnya naik tinggi. Penyeberangan tetap jalan. Penumpang tidak takut, soalnya sudah terbiasa, setiap hari nyebrang,” ujarnya.
Atun, salah satu warga Dusun Tanon mengatakan, setiap hari dirinya menggunakan sampan penyeberangan Surajianto. Setiap pagi, dirinya harus ke pasar Sidolaju atau Walikukun, untuk berbelanja kebutuhan tokonya. Dia mengaku enggan lewat jembatan yang berada di luar kecamatan. Alasannya, jarak yang ditempuh sangat jauh.
“Kalau lewat jembatan jauh. Bisa satu jam lebih. Jalannya rusak juga. Rusak parah,” katanya.
Dusun Terisolasi
Kepala Desa Sidolaju Karminto mengatakan, Dusun Tanon terdiri dari dua wilayah pemukiman. Masing-masing wilayah, dipisahkan kawasan hutan. Pusat dusun berada jauh sekitar 3 kilometer dari titik dermaga penyeberangan.
“Di dermaga itu ada satu RT dihuni 25 KK, jarak dusun Tanon sekitar 3 kilometer lewat hutan. Makanya terisolir,” kata Karminto.
Dikatakan Karminto, akses jalan penghubung antar kawasan tersebut memang baru terbuat dari makadam. Sudah diajukan perbaikan pavingisasi, namun belum terealisasi. “Makanya warga memilih lewat sampan penyeberangan,” ujarnya.
Di Desa Sidolaju ada dua titik penyeberangan. Yakni di Ndlaju dan Tanon. Untuk Ndlaju, memiliki sampan yang lebih besar. Selain itu juga dikelola oleh Bumdes. Sementara yang di Tanon, dikelola secara pribadi oleh warga.
Karminto menyebut, di lokasi penyeberangan Ndlaju rencananya akan dibuat jembatan. Infrastruktur itu sangat diharapkan oleh masyarakat untuk akomodasi harian. Namun hingga sekarang belum juga terlaksana.
“Penyeberangan sungai Bengawan Solo yang di Ndlaju ini sebenarnya yang diajukan untuk lokasi jembatan. Entah gantung atau permanen, yang penting roda empat bisa masuk. Sudah bertahun-tahun, sampai sekarang belum juga terealisasi,” papar Karminto, kepala Desa Sidolaju, Kecamatan Widodaren, Ngawi terkait sampan penyeberangan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |