Tokoh Ulama Cirebon Kiai Abbas Buntet Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

TIMESINDONESIA, CIREBON – Tokoh ulama Cirebon, Jawa Barat, KH Abbas Abdul Jamil, diusulkan menjadi Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Kiai Abbas dari Buntet Pesantren Cirebon diusulkan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI sebagai kado Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2022.
Sebagai bagian dari proses pengusulan, digelar seminar pahlawan nasional di Auditorium Manuputra, Komplek Buntet Pesantren Cirebon, Desa Mertapada Kulon, Kecamatan Astanajapura, Cirebon. Hadir dalam kegiatan tersebut, anggota Fraksi PKB DPR RI, Dedi Wahidi, Ketua Yayasan Pendidikan Buntet Pesantren Cirebon, KH Salman Al Farisi, Plt Kepala Dinsos Kabupaten Cirebon, Mira Indri.
Advertisement
Narasumber seminar pahlawan nasional adalah Eva Nur Arofah, peneliti, dosen IAIN Syeh Nurjati Cirebon dan anggota tim pengusul gelar pahlawan nasional Ki Bagus Rangin, M. Kholil, pemerhati sejarah Cirebon, dan Akbarudin Sucipto, Budayawan Cirebon. Serta Kepala Sekolah MANU Buntet Cirebon, KH Ade Nashihul Umam sebagai Keynote Speaker.
Anggota Fraksi PKB DPR RI, Dedi Wahidi. (Foto: Nurhidayat/TIMES Indonesia)
Dalam sambutannya anggota DPR RI Dedi Wahidi mengatakan, sebagai partai yang didirikan ulama, sudah semestinya PKB memperjuangkan ulama sebagai pahlawan nasional. Salah satunya Kiai Abbas Buntet yang berperan besar dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda.
"Kiai Abbas adalah salah satu tokoh ulama di Indonesia yang dihubungi KH Hasyim Asyari untuk bertempur melawan penjajah pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya," ujar Dewa, sapaan Dedi Wahidi.
Fraksi PKB DPR RI kata Dewa, total mengusulkan 6 nama ulama meraih gelar pahlawan nasional, yakni KH Holil Bangkalan, KH Bisry Syansuri Jombang, KH Abbas Abdul Jamil Cirebon, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Ilyas Ruhiyat Tasikmalaya dan KH. Mahrus Ali Kediri. Seluruh nama tersebut murni inisiatif PKB untuk menghargai jasa ulama yang telah turun di medan perang melawan penjajah.
"Saya mohon doa dari semuanya agar apa yang kita ikhtiarkan berhasil dan menjadikan KH Abbas Abdul Jamil menjadi pahlawan nasional RI," ujar Dewa.
Salman Al Farisi, Ketua Yayasan Pendidikan Buntet Pesantren Cirebon menyadari bahwa kiprah Kiai Abbas dalam perjuangan kemerdekaan diakui bangsa Indonesia. Karenanya, pihak keluarga mendukung sepenuhnya upaya pengusulan menjadi pahlawan nasional untuk tokoh yang lahir pada tahun 1879 tersebut.
"Inisiasi ini sudah lama bahwa Kiai Abbas sangat layak menjadi pahlawan nasional tetapi akan sangat elok apabila ini tidak dari internal tapi dari eksternal Buntet Pesantren dan ini dilakukan oleh PKB. Keluarga besar, anak cucu, dan keluarga pesantren sangat mendukung," ujar Salman.
Pihak keluarga, kata Salman akan siap mendukug dengan memberikan apapun yang dibutuhkan dalam proses pengusulan Kiai Abbas menjadi pahlawan nasional. Baik berupa dokumen, arsip dan segala hal yang diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut.
"Sekali lagi kami atas nama keluarga mengucapkan terimakasih kepada PKB, Pak Dedi Wahidi dan tim pengusul, mudah-mudahan apa yang kita lakukan diridhoi Allah SWT," harapnya.
Sementara itu, Eva Nur Arofah, selaku peneliti sejarah dan dosen pengajar di IAIN Syekh Nurjati Cirebon mengatakan, membahas dunia islam dan pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Jawa Barat tidak terlepas dari peran para tokoh di Cirebon. Namun hingga kini belum ada nama tokoh yang bergelar pahlawan nasional.
"Maka sudah saatnya Cirebon memiliki nama yang dibanggakan dan bergelar pahlawan nasional," ujar Eva.
Menurut Eva, nama Kiai Abbas adalah nama yang populer dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan dengan resolusi jihad dan fatwa jihadnya. Banyak hal yang beliau lakukan dalam tiga fase sejarah Indonesia yakni era hindia belanda, penjajahan jepang dan paska kemerdekaan.
"Saya sendiri sangat bersemangat ketika nama kiai Abbas diusulkan menjadi pahlawan nasional, karena bagi saya kiprah beliau sangat luar biasa," ujar Eva.
Eva juga menguraikan pengalaman dirinya ketika menjadi tim pengusulan nama Ki Bagus Rangin sebagai pahlawan nasional. Dalam hal ini masih banyak proses yang perlu dilalui untuk mewujudkan hal tersebut, seperti penulisan biografi.
"Selain banyak syarat administratif dan syarat khusus yang juga harus dilengkapi," ujar Eva.
Sementara itu, pemerhati sejarah Cirebon, Dr Kholil mengulas banyak hal mengenai sosok Kiai Abbas dari silsilah keluarga yang menyambung ke Sunan Gunung Jati, riwayat pendidikan hingga kiprah perjuangan melawan penjajah.
Dalam hal pembaruan pendidikan, dijelaskan Kholil, pada tahun 1928 bertepatan dengan peristiwa Sumpah Pemuda, Kiai Abbas membuat inovasi baru di dunia pesantren, yaitu mendirikan Madrasah “Abna’ul Wathan (Wathaniyah)” yang di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu agama, seperti Ilmu Hisab (Aritmatika), al- Jughrafiyah (Geografi), al-Lughah al-Wathaniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu at- Thabi’iyyah (Ilmu Alam) dan Tarikh al-Wathan (Sejarah Kebangsan).
Pemilihan nama “Abna’ul Wathan (Wathaniyah)” oleh Kiai Abbas yang berarti “tunas-tunas bangsa (kebangsaan)” untuk madrasah yang didirikannya itu menegaskan bahwa Kiai Abbas merupakan sosok kiai yang memiliki wawasan, komitmen dan cita- cita kebangsaan.
Pada masa penjajahan belanda, Kiai Abbas juga membentuk barisan pejuang laskar santri dan melatih bela negara. Kiai Abbas mengajak santri dan masyarakat ikut berjuang membela tanah air Indonesia pada masa revolusi fisik.
Pesantren Buntet, kata Kholil, juga menjadi basis penting bagi laskar-laskar jihad, seperti barisan Hizbullah, Sabilillah, PETA (Pembela Tanah Air), terutama pasca Proklamasi 1945. Selain itu, ia juga secara khusus membentuk regu laskar santri bernama Asybal (berarti: singa kecil) yang berfungsi sebagai “telik sandi” atau semacam pasukan inteligen.
Asybal diisi oleh para remaja berusia di bawah 17 tahun yang sengaja dibentuk sebagai pasukan pengintai, bertugas mengawasi jalan-jalan yang mungkin dilalui musuh (dari arah mana musuh datang, dengan memakai kendaraan apa musuh datang) serta bertugas sebagai penghubung yang membawa informasi dari satu kesatuan kepada kesatuan yang lainnya. Sebagai pimpinan Asybal pada waktu itu adalah: Kiai Nahduddin Abbas (Komandan, putera bungsu Kiai Abbas), Kiai Mohammad Faqihuddin (Wadan), Mohammad Hisyam Mansyur (Dan Kie I), Kiai Fachruddin (Dan Kie II), Kiai Hasyim Halawi (Dan Kie III), Kiai Muayyad Qosim (Dan Kie IV).
Menjelang terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Kiai Abbas juga sudah mulai memobilisasi massa, terutama dari kalangan santri. Ia memberikan komando kepada mereka untuk ikut dalam barisan perjuangan rakyat Indonesia di Surabaya. Ia sendiri ikut terjun dalam kancah perang besar itu.
"Peristiwa bersejarah tersebut merupakan efek dari Fatwa Jihad yang digagas oleh gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari bersama para kiai lain beberapa hari sebelumnya dalam sebuah pertemuan NU di Surabaya di mana Kiai Abbas juga turut hadir di dalamnya," ujar Kholil. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |