Peristiwa Daerah

Jombang Darurat TBC, Segera Obati Gratis

Rabu, 28 Desember 2022 - 17:54 | 101.86k
Ilustrasi pasien TBC. (iStockphoto/jittawit.21)
Ilustrasi pasien TBC. (iStockphoto/jittawit.21)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Kabupaten Jombang darurat TBC (Tuberkulosis). Setidaknya dari data RSUD Jombang pada tahun 2022 warga Jombang yang mengidap penyakit TBC sebesar 1795 jiwa. 

Banyaknya data orang terjangkit penyakit TBC tentu bukan sebuah prestasi bagi Kabupaten Jombang. Data tersebut hanya yang terdeteksi dan berobat ke RSUD Jombang. Namun, tingkat kesadaran masyarakat untuk berobat masih rendah. Pada tahun 2022 hanya 240 pasien yang berobat ke RSUD Jombang. 

Advertisement

RSUD-Jombang.jpgYayuk Endah Ernani, Kepala Ruang Poli Paru RSUD Jombang saat menjadi narasumber di podcast Humas RSUD Jombang. (FOTO : Rohmadi/TIMES Indonesia)

Sekedar informasi, berdasarkan laporan WHO, Indonesia berada dalam daftar 30 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia dan menempati peringkat tertinggi ketiga di dunia terkait angka kejadian tuberkulosis. 

Pada tahun 2019 WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 845.000 penduduk Indonesia menderita tuberkulosis dengan 24.000 orang di antaranya adalah TB Resistan Obat. 

Selain itu sekitar 92.700 orang meninggal akibat TBC di Indonesia per tahun, atau sekitar 11 orang per jam. Tuberkulosis Resistan Obat (TBC RO) timbul sebagai akibat dari pengobatan yang tidak adekuat, ketidakpatuhan pasien dalam minum obat lini pertama sampai selesai, serta melalui penularan dari pasien TBC RO lainnya. 

Namun, bagi kalian yang merasakan gejala TBC tak perlu panik dan takut. Segera periksa dan obati di RSUD Jombang dengan biaya gratis. 

Mengenali Penyakit TBC 

Yayuk Endah Ernani, Kepala Ruang Poli Paru RSUD Jombang dalam podcast Humas RSUD Jombang menyapa mengungkapkan gejala TBC pada orang dewasa adalah batuk selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan beberapa gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, lemah, letih, lesu, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang berkepanjangan. 

"Penyakit TBC merupakan penyakit kronis yang dapat disembuhkan dengan pengobatan yang tepat dan teratur. Semakin dini pasien ditemukan dan diobati maka harapan kesembuhan akan tinggi," kata Yayuk kepada TIMES Indonesia, Rabu (28/12/2022). 

Lebih lanjut, Penyakit TBC dapat menyerang semua usia dan semua organ tubuh manusia. Penyakit TBC dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu TBC paru, yaitu tuberkulosis yang menyerang paru; serta TBC ekstraparu, yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, seperti selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing. 

Mengenali Penyekit TBC RO yang Lebih Parah dari TBC Biasa

Tuberkulosis Resistan Obat (TBC RO) adalah penyakit TBC yang disebabkan oleh kuman M. tuberculosis yang sudah mengalami resistansi atau kebal terhadap obat antituberkulosis (OAT) yang digunakan saat ini. 

Resistansi kuman Mycobacterium tuberculosis (Mtb) disebabkan oleh mutasi spontan pada kromosom. Proporsi kuman Mtb yang sudah mengalami mutasi (wild-type resistant mutants) pada pasien yang tidak pernah mendapatkan OAT sangat sedikit. 

Pengobatan TB menyebabkan hambatan selektif pada populasi kuman Mtb sehingga kuman Mtb sensitif dibunuh, sementara populasi mutan akan bereproduksi dan menyebabkan terjadinya resistansi terhadap OAT (resistansi didapat). 

Resistansi diantara pasien baru adalah resistansi terhadap OAT pada pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan. Pasien ini terinfeksi dari orang dengan kuman TB resistan. 

Sementara resistansi di antara pasien yang pernah diobati adalah resistansi yang terjadi pada pasien yang pernah mendapatkan pengobatan TB > 1 bulan, termasuk pasien gagal pengobatan, pasien kambuh atau kembali setelah putus berobat. 

"Pasien ini bisa mendapatkan kuman resistan selama pengobatan, atau mengalami reinfeksi atau terinfeksi secara primer dari orang dengan kuman TB resistan," terangnya. 

Faktor-faktor Penyebab TB RO 

Faktor utama penyebab terjadinya resistansi kuman terhadap OAT adalah akibat tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak adekuat atau tidak sesuai standar. Resistansi OAT dapat disebabkan oleh 3 faktor berikut: 

1. Tidak teratur menelan obat anti TBC. 

2. Menghentikan pengobatan secara sepihak selum waktunya.

3. Resep atau obat yang di minum tidak mematuhi anjuran dokter atau petugas kesehatan.

4. Adanya gangguan penyerapan obat pada tubuh.

5. Tertular dari pasien TB RO lainya 

(Menular melalui udara saat pasien TB RO batuk, bersin). 

"TB Resisten obat tidak akan menular dengan hanya berjabat tangan, bergantian bersama baju yang bersih, makan bersama dengan peralatan yang bersih," ujarnya. 

Upaya Penanganan TB RO

Tuberkulosis resistan obat (TB RO) masih menjadi ancaman dalam pengendalian TB dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat utama di banyak negara di dunia. Pengobatan pasien TBC RO memiliki tantangan yang lebih banyak daripada TB sensitif obat (TB SO) yang disebabkan oleh durasi pengobatan dan efek samping obat. 

Tujuan dari manajemen TB resistan obat ialah untuk memutus rantai penularan TB RO di masyarakat dengan menemukan, mengobati semua kasus TB RO serta menyediakan layanan TB RO yang berkualitas dan mudah diakses oleh semua pasien TB RO di Indonesia. 

Kebijakan Terkait Pengendalian TB RO

Kebijakan yang terkait dengan pengendalian dan tata laksana TB resistan obat di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Pengendalian TB RO di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana pengendalian TB yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring di antara fasilitas pelayanan kesehatan yang didukung oleh peran aktif masyarakat. Titik berat manajemen program meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana). 

2. Tatalaksana TB RO dilaksanakan dengan pendekatan yang berpusat pada pasien (Patient-Centered Approach), yaitu pengembangan layanan pengobatan TB RO yang lebih mudah diakses oleh pasien, sehingga layanan bisa tersedia sedekat mungkin dengan pasien. 

3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen para pemegang kebijakan dan pelaksana kegiatan pengendalian TB RO. 

4. Penguatan tatalaksana TB RO dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan kasus dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB XDR. 

5. Tatalaksana pengendalian TB RO mengacu kepada Permenkes nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis dan petunjuk teknis lain yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI. 

6. Pengembangan wilayah disesuaikan dengan rencana pengembangan layanan TB RO yang ada dalam Strategi Nasional TB, dilakukan secara bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat mempunyai akses terhadap pelayanan TB RO yang bermutu. 

7. Pelayanan pasien TB RO diberikan secara berjenjang mengikuti sistem jejaring rujukan yang berlaku. Menteri Kesehatan menunjuk Fasyankes dan Balai Kesehatan yang memberikan layanan TB resistan obat berdasarkan KMK 350 tahun 2017. Penetapan fasyankes pemberi layanan TB RO bersifat terbuka dan dapat bertambah sejalan dengan penambahan jumlah pasien dan cakupan wilayah serta pertimbangan lainnya. 

8. Pembiayaan untuk penanganan pasien TB RO yang meliputi UKM dan UKP menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah Pusat, Provinsi, Kab/ Kota, BPJS-K dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai mekanisme yang ada. 

9. Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam diagnosis dan evaluasi penatalaksanaan pasien TB RO sehingga kemampuan dan mutu laboratorium harus sesuai standar. 6 PETUNJUK TEKNIS PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT DI INDONESIA 

10. Pengobatan TB RO dapat dilaksanakan di seluruh fasyankes dan balai kesehatan layanan TB RO dan dilanjutkan di fasyankes satelit yang berupa fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) yang mudah diakses oleh pasien sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati sebelumnya. 

11. Pemerintah menyediakan OAT lini kedua yang berkualitas dan logistik lainnya untuk pasien TB RO. 

12. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. 

13. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi pasien TB RO. 

14. Memberikan kontribusi terhadap komitmen global. 

Strategi Penanggulangan TB RO

Strategi Upaya penanggulangan TB RO telah tertuang pada dokumen Strategi Nasional (Stranas) 2021–2024, yang berisi pengembangan program untuk kualitas layanan TB RO yang terintegrasi dan percepatan menuju akses universal. Hal ini berarti bahwa layanan TB RO harus dapat menjangkau semua pasien tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi, karakteristik demografi, wilayah geografis dan kondisi klinis. 

Strategi nasional pengendalian TB RO tersebut meliputi: 

1. Mencegah munculnya resistansi melalui akses universal terhadap layanan yang berkualitas tinggi untuk TB sensitif obat sesuai dengan rencana strategis nasional TB. 

2. Mencegah penyebaran TB RO melalui akses universal terhadap layanan diagnostik dan pengobatan TB RO yang berkualitas tinggi. PETUNJUK TEKNIS PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT DI INDONESIA 7 

3. Mencegah penularan TB RO melalui penerapan PPI TB sesuai standar. 

4. Penyediaan layanan berpusat pada pasien untuk semua pasien TB RO termasuk dukungan kepatuhan minum obat. 

5. Meningkatkan manajemen dan kepemilikan layanan TB RO di semua tingkat baik di provinsi, kabupaten/ kota dan fasilitas pelayanan kesehatan. 

6. Memperkuat komitmen politis di semua tingkatan untuk MTPTRO melalui advokasi dan kemitraan dengan pemangku kebijakan serta organisasi berbasis masyarakat. 

7. Implementasi penggunaan obat baru dan paduan standar jangka pendek untuk meningkatkan kualitas pengobatan pasien TB RO di Indonesia. 

Jenis-jenis Resistensi 

Terdapat beberapa jenis resistansi terhadap OAT, yaitu: 

a. Monoresistansi: resistansi terhadap salah satu OAT lini pertama, misalnya resistansi terhadap isoniazid (H) 

b. Poliresistansi: resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin (HR), misalnya resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE), isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), atau rifampisin, etambutol dan streptomisin (RES) 

c. Multidrug resistance (MDR): resistansi terhadap isoniazid dan rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE, HRES

d. Pre-XDR: TB MDR yang disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin) 

e. Extensively Drug Resistance (XDR): TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin) 

f. TB resistan rifampisin (TB RR): Resistan terhadap rifampisin (dalam bentuk monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi menggunakan metode fenotipik ataupun genotipik, dengan atau tanpa resistansi terhadap obat antituberkulosis lain. 

Strategi Pengobatan TB Resistan Obat 

Strategi pengobatan pasien TB RO adalah memastikan semua pasien yang sudah terkonfirmasi sebagai TB RR/ MDR dapat mengakses pengobatan secara cepat, sesuai standar dan bermutu. Paduan obat untuk pasien TB RO terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua. Paduan OAT tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji kepekaan M. Tuberculosis. Keputusan penggantian tersebut ditetapkan oleh tim ahli klinis TB RO. 

Semua pasien TB RO perlu menjalani pemeriksaan awal, pemeriksaan selama pengobatan berlangsung sampai selesai pengobatan, dan pemeriksaan setelah selesai masa pengobatan. Persiapan awal pengobatan meliputi pemeriksaan penunjang yang bertujuan untuk mengetahui kondisi awal berbagai fungsi organ (ginjal, hati, jantung), pemeriksaan elekrolit, dan berbagai pemeriksaan laboratorium lain. 

Pemeriksaan selama pasien dalam masa pengobatan TB RO bertujuan untuk memantau perkembangan pengobatan dan efek samping obat. Pengobatan TB RO harus bisa dimulai dalam waktu 7 hari setelah diagnosis pasien ditegakkan. Pengobatan untuk pasien TB RO diberikan dengan rawat jalan (ambulatory) sejak awal dan diawasi setiap hari secara langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

Sesuai dengan rekomendasi WHO tahun 2020, pengobatan TB RO di Indonesia saat ini menggunakan paduan tanpa obat injeksi, yang terbagi menjadi dua, yaitu paduan pengobatan jangka pendek (9–11 bulan) dan jangka panjang (18–20 bulan).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES