Peristiwa Daerah

DPRD Surabaya: Medsos Tak Dapat Kalahkan Akurasi Media Arus Utama

Kamis, 16 Februari 2023 - 15:18 | 55.26k
Focus Group Discussion (FGD) Obral-obrol Inspirasi, Diskusi, Solusi bersama Anggota DPRD Surabaya dan praktisi media, Kamis (16/2/2023).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Focus Group Discussion (FGD) Obral-obrol Inspirasi, Diskusi, Solusi bersama Anggota DPRD Surabaya dan praktisi media, Kamis (16/2/2023).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Media massa arus utama memiliki peran penting sebagai penyampai informasi kebijakan pemerintah kepada publik. Begitupun sebagai perantara kritik publik kepada lembaga pemerintahan. 

Hal itu terungkap dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Obral-obrol Inspirasi, Diskusi, Solusi bersama Anggota DPRD Surabaya dan praktisi media serta perwakilan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surabaya, Kamis (16/2/2023). 

Agenda tersebut menghadirkan narasumber Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Khusnul Khotimah dan Anggota Komisi A DPRD Surabaya Arif Fathoni. Kemudian dari media, hadir praktisi sekaligus akademisi Abdul Aziz, Jurnalis Antara Abdul Hakim dan Wakil Sekretaris PWI Surabaya Eko Widodo. 

Ketua Komisi D DPRD Surabaya Khusnul Khotimah mengatakan, selama ini DPRD Surabaya sangat mengapresiasi peran media sebagai pelurus berbagai hoaks di ranah media sosial. Akurasi dan politic control menjadi landasan bagi para anggota legislatif untuk mengabarkan agenda-agenda mereka kepada masyarakat luas sebagai bentuk laporan legislatif kepada publik. 

"Kami berharap semua yang kita sampaikan bisa disampaikan utuh kepada pembaca. Tidak sepotong-sepotong," ujar Khusnul. 

Sementara itu, Anggota Komisi A DPRD Surabaya Arif Fathoni memastikan keberadaan media sosial (medsos) dalam konteks industri memang berpotensi menggerus media arus utama. Seperti televisi. 

"Kecepatan menghadirkan peristiwa memang kalah jauh dari medsos. Namun dalam konteks akurasi, media arus utama tak bisa dikalahkan oleh media sosial," sambung politikus Golkar tersebut. 

Ia menjelaskan, bahwa selama ini media kerap menyampaikan data dan menjadi kritik bagi eksekutif maupun legislatif. "Kritik berarti menyelamatkan. Pers adalah pilar demokrasi, partner kita," ungkap Arif. 

Akan tetapi ia melihat media massa kerap hanya menjadi ajang klarifikasi sehingga timbul fenomena terbalik. Sebagaimana yang pernah terjadi setiap momen menuju Pilpres. Hoaks Pemilu menimbulkan polarisasi dan meninggalkan residu konflik sampai sekarang. 

"Media massa pernah hanya jadi panggung untuk mengklarifikasi satu sisi saja. Sebagaimana saat Pemilu," tandasnya. 

Padahal, semestinya fungsi pers tidak hanya menjadi media klarifikator atas kabar di media sosial. 

"Kalau media sosial itu kan telanjang tanpa aturan. Sementara pers memiliki kode etik dan standar aturan produk jurnalistik. Kami berharap justru pers itu yang memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia dengan menguji kualitas isu yang muncul di medsos," ucapnya.

Pokja-DPRD-Surabaya.jpgKetua Pokja DPRD Surabaya, Maulana, menyerahkan sertifikat kepada Anggota Komisi A DPRD Surabaya Arif Fathoni sebagai narasumber dalam acara Focus Group Discussion, Kamis (16/2/2023).(Foto : Lely Yuana/TIMES Indonesia) 

Jika ini dibiarkan, lanjut Arif Fathoni, medsos akan terus leluasa mengagitasi sebagai media propaganda dan disrupsi informasi tanpa filter tersebut dapat membahayakan nilai-nilai ke-Indonesiaan yang dibangun atas keberagaman. 

"Sementara di media sosial sudah tidak ada lagi norma, tata krama. Hanya ada hasutan golongan tertentu," kata dia. 

Arif menambahkan, pers sebagai pilar demokrasi memiliki tanggung jawab mencerahkan publik dan menjadi acuan literasi terpercaya di tengah banjir berita-berita bohong. 

Ia berharap besar agar pers terus mengawal setiap babakan sejarah bangsa sebagai kontrol sosial. Karena peningkatan atau penurunan kualitas demokrasi ditentukan oleh pers. Serta memiliki inovasi agar secara industri media tetap hidup. 

"Makanya kami berharap pers terus mengawal transisi demokrasi dan kehidupan sosial masyarakat kita tetap teguh pada nilai-nilai ke-Indonesiaan kita dengan cara memberikan informasi yang akurat," ujarnya. 

Akademisi ilmu komunikasi Abdul Aziz, memaparkan, bahwa memang terjadi penurunan tingkat kepercayaan publik kepada media arus utama karena gempuran informasi di media sosial. Kabar bertebaran menyampaikan peristiwa dan fakta tanpa akurasi data. 

Padahal, jelas Aziz, tidak semua peristiwa atau fakta bisa menjadi data. Hanya fakta yang diolah dengan metode jurnalistik layak dipercaya. Karena berita tersebut telah melalui sejumlah tahapan. Mulai proses wawancara, verifikasi dan tahapan observasi. 

"Ilmu ini tidak dimiliki oleh semua netizen di Indonesia. Hanya dimiliki oleh jurnalis. Sehingga, produk jurnalistik berdasarkan fakta yang sudah diproses menjadi data," ungkap Aziz. 

Jurnalis Antara, Hakim sepakat dengan Aziz. Ia melihat tingkat kepercayaan publik kepada media arus utama memang menurun karena disrupsi informasi di media sosial. Tetapi itu tak kan berlangsung lama. Karena publik membutuhkan kebenaran informasi dan itu hanya bisa didapatkan di media arus utama.

Menurut Hakim sendiri, media sosial memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihan itu antara lain sebagai wadah eksistensi para anggota legislatif. Menyampaikan gagasan, ide, kegiatan hingga informasi eksekusi program. Sedangkan kekurangannya adalah bisa menimbulkan disinformasi. 

Maka dari itu, Hakim menegaskan, media arus utama harus tetap berada pada jalur kaidah jurnalistik. Bukan sekadar membagikan informasi tanpa konfirmasi. Bahkan jika perlu, turun melakukan investigasi. Agar tidak terjadi praktek oknum wartawan menggunakan jubah pers, Dewan Pers membekali jurnalis dengan sertifikat uji kompetensi. 

Pada kesempatan yang sama, Wakil Sekretaris PWI Surabaya, Eko Widodo mengungkapkan, pembeda media sosial dan media. "Produk jurnalistik ada payung hukum dan kode etik," ujar Eko. 

Ia mengingatkan agar publik lebih bijak dalam menggunakan media sosial karena bisa berdampak pada perkara hukum akibat menyebarkan berita bohong dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Sementara media massa juga memiliki tugas menguji kebenaran informasi di media sosial dengan melakukan penelusuran atas peristiwa yang terjadi. 

"Pers sebagai pencerah, memiliki tugas menyampaikan informasi tanpa tendensi," kata Eko seraya berharap ke depan media sosial dan media arus utama dapat berjalan beriringan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.(*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Irfan Anshori
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES