Peristiwa Daerah

Penambangan Pasir Lereng Gunung Merapi Pengaruhi Ekosistem Satwa

Selasa, 14 Maret 2023 - 12:55 | 57.28k
Nurpana Sulaksono, mahasiswa program studi doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM saat Ujian Terbuka Promosi Doktor di Fakultas Kehutanan UGM. (FOTO: A Riyadi/TIMES Indonesia)
Nurpana Sulaksono, mahasiswa program studi doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM saat Ujian Terbuka Promosi Doktor di Fakultas Kehutanan UGM. (FOTO: A Riyadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi sangat berpengaruh terhadap satwa. Baik yang berada di Kabupaten Sleman, Kabupateng Magelang, Kabupaten Boyolali maupun Kabupaten Klaten.

Sebab, aktivitas manusia tersebut membuat satwa merasa tidak aman dan nyaman.

"Untuk menghindari kepunahan satwa asli Gunung Merapi, maka perlu ada tindakan yang tegas dari pemerintah,” kata Nurpana Sulaksono dalam disertasinya di Ujian Terbuka Promosi Doktor Fakultas Kehutanan UGM, Selasa (14/3/2023).

Dalam penelitian disertasi tersebut, Sulaksono mengambil judul Respon Mamalia Darat Ukuran Sedang-Besar pada Berbagai Tipe Gangguan di Lanskap Taman Nasional Gunung Merapi.

Pria asal Bojonegoro ini menegaskan, mamalia dengan ukuran sedang dan besar seperti monyet dan lutung atau kijang yang berada di Gunung Merapi cenderung menghindar dan menjauhi area yang dekat dengan gangguan baik pemukiman maupun penambangan. 

"Satwa itu cenderung berada di area tutupan rapat dan menjauh dari area pemukiman dan penambangan serta suka pada lahan yang agak tinggi,” tandas mahasiswa program studi doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM itu.

Sulaksono menjelaskan, gangguan habitat yang paling tinggi terjadi pada habitat yang terdampak akibat gangguan aktivitas penambangan. Habitat dengan tingkat gangguan tinggi cenderung direspon dengan kekayaan jenis dan keragaman jenis mamalia yang rendah.

Pada habitat yang tidak terganggu justru cenderung memiliki kekayaan tinggi namun memiliki tingkat  keragaman mamalia paling rendah akibat adanya dominasi beberapa jenis satwa tertentu.

Selain penambangan, Sulaksono menyoroti adanya tindakan perburuan di sekitar lereng Gunung Merapi. Perburuan oleh oknum yang melibatkan seekor anjing dapat membahayakan ekosistem yang ada di gunung teraktif di dunia tersebut.

Karena itu, Sulaksono meminta kepada pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pengamanan kawasan. Tujuannya, untuk mencegah aksi perburuan, melakukan pengaturan dan penertiban terhadap aktivitas penggalian batu dan pasir untuk mencegah terjadinya fragmentasi habitat.

"Pengambilan material batu dan pasir yang tidak terkendali bisa menyebabkan terputusnya konektivitas antar habitat,” papar pria yang akrab disapa Oon ini.

Sulaksono menegaskan, satwa asli pegununungan Jawa yang berada di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terancam keberadaannya karena gangguan manusia dan gangguan alam.

Hal itu karena lokasinya sekarang ini berada di area gunung api paling aktif di Indonesia dan dikelilingi pemukiman padat penduduk. 

Gangguan alam yang mengganggu keberadaan satwa liar di area Merapi berupa bencana erupsi yang terjadi secara periodik. Sedangkan gangguan dari aktivitas manusia berupa kegiatan perumputan, penambangan dan wisata.

Tak hanya penambangan pasir, Sulaksono berhasil mengungkap adanya 12 jenis hewan mamalia berukuran besar hingga sedang yang tinggal di area  TNGM. Yaitu, monyet, kijang, landak,  garangan, lutung, babi hutan, trenggiling, kucing hutan, lutung, biul, rase, dan tupai terbang. 

"Menggunakan puluhan kamera jebakan, diketahui ada 12 jenis mamalia,  10 diantaranya jenis mamalia darat. Yang paling banyak itu adalah monyet ekor panjang, kijang, landak dan luwak," jelas Sulaksono.

Mengenai ketersediaan habitat populasi mamalia di taman nasional Gunung Merapi sekarang ini, Sulaksono menyebutkan habitat paling luas dimiliki oleh kucing hutan yang menempati area seluas 5.000 hektar baik di dalam maupun luar TNGM.

Diikuti luwak 4.700 hektar, dan kijang menempati area 3.000 hektar baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional.

Namun demikian, lanjut Sulaksono, kondisi habitat kijang saat ini terjadi fragmentasi akibat erupsi dan adanya aktivitas pemukiman penduduk.

Lokasi habitat tersebut berada di utara dan selatan gunung Merapi."Antara wilayah utara dan selatan terputus yang akan memberikan dampak pada pelestarian area yang seharusnya populasinya bisa terhubung,” paparnya.

Dari hasil penelitian ini, ia menyampaikan rekomendasi untuk dilakukan  pengukuran kondisi mamalia secara aktif dan kontinyu untuk mengetahui dinamika dan perkembangan jumlah populasi dan habitatnya.

Selain itu, diperlukan pengaturan waktu aktivitas pengambilan rumput oleh masyarakat. 

"Pengaturan dilakukan untuk mencegah gangguan tidak melebihi ambang batas toleran yang dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap satwa liar khususnya mamalia yang ada di Lereng Gunung Merapi,” terang Sulaksono. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES