Tempat Bersejarah di Kota Probolinggo (1): Ada Warisan Kolonial Balanda dalam Tata Kota Probolinggo

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Kota Probolinggo, Jawa Timur, kaya akan situs dan aset cagar budaya. Kota seluas 56,667 kilometer persegi ini, menjadi salah satu anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).
Bersama 73 kabupaten/kota lain di jaringan tersebut, Kota Probolinggo bertekad menjaga kelestarian benda cagar budaya atau BCB peninggalan sejarah di Indonesia yang berada di daerahnya.
Advertisement
Nah, dari sekian banyak aset dan cagar budaya tersebut adalah penataan kawasan Pelabuhan Tanjung Tembaga di utara Kota Probolinggo, hingga wilayah Wonoasih di selatan.
Kawasan yang jika ditarik lurus memiliki panjang sekitar 8,2 kilometer tersebut, ternyata merupakan peninggalan kolonial Belanda yang masih bertahan hingga kini selama ratusan tahun.
Kawasan itu pun sempat diusulkan menjadi situs kota tua atau pusaka yang bernilai sejarah. Usulan mengemuka dalam lokakarya bertajuk "Probolinggo sebagai Kota Pelabuhan Bersejarah; Tantangan dan Potensi Warisan Budaya," pada 2015 lalu.
Lokakarya itu merupakan penutup dari serangkaian observasi dan analisis International Council on Monuments and Sites atau ICOMOS, selama 5 hari terhadap situs dan aset-aset cagar budaya di Kota Probolinggo.
Kegiatan itu didampingi mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang; serta kelompok kerja bentukan pemkot setempat.
ICOMOS sendiri, merupakan asosiasi profesional yang bekerja untuk konservasi dan perlindungan tempat-tempat warisan budaya di seluruh dunia. Berdiri sejak tahun 1965, ICOMOS berkantor di Prancis.
Ada Kawasan Eropa, Arab, Pecinan dan Pribumi
Oleh pemerintah kolonial, masyarakat di kawasan tersebut—terutama dari Markas Kodim 0820 Probolinggo sampai Pelabuhan Tanjung Tembaga, dibagi dalam beberapa kluster.
Sisi kanan dari kiri sepanjang Jalan Suroyo dan Jalan dr Saleh, merupakan kawasan pejabat Eropa.
Sebelah barat Jalan dr Saleh, menjadi kawasan kampung arab. Etnis ini bersebelahan dengan kampung melayu yang berada di sisi utara, atau di sekitar RSUD dr Moh Saleh sekarang.
Dari Jalan Dr Sutomo ke timur hingga Jalan Gatot Subroto, ditetapkan sebagai kampung pecinan yang ditempati etnis China.
Sedangkan sisi timur Jalan Gatot Subroto, menjadi kawasan untuk warga pribumi. Adapun kawasan nelayan dan orang Madura, berada di sisi barat pelabuhan Tanjung Tembaga.
Dari riset yang dilakukan pokja, segmentasi kawasan tersebut terlihat pada fase ketiga kolonial Belanda di Probolinggo. Yakni berkisar antara 1850 sampai 1880, dan berlangsung sampai fase keempat hingga 1943.
Sisa segmentasi kawasan itu, kini masih mudah ditemukan. Gereja yang menjadi tempat ibadah orang Eropa, berada di sekitar Jalan Suroyo atau Jalan dr Saleh.
Sementara Kelenteng yang menjadi tempat ibadah orang China, berada di antara Jalan Dr Sutomo dan Jalan Gatot Subroto.
Di kawasan antara Markas Kodim sampai pelabuhan, banyak ditemukan situs dan aset cagar budaya. Beberapa di antaranya ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemkot setempat.
Sebut saja kompleks Benteng, Gereja Merah, termasuk Markas Kodim 0820 Probolinggo sendiri.
Pada era kolonial, ruas Jalan Suroyo tersambung lurus hingga ke pelabuhan di utara. Ruas jalan ini membelah alun-alun Kota Probolinggo. Begitu juga dengan Jalan HOS Cokroaminoto di selatan.
Belanda memandang Probolinggo sebagai wilayah strategis. Selain berada di pantai, juga terdapat Kali Banger yang dilalui perahu dan kapal. Karena itu tak mengherankan bila wilayah Kota Probolinggo sengaja ditata.
Karena posisis trategis itu pula, pemerintah kolonial membangun pelabuhan. Akses jalan menuju pelabuhan, dirancang sedemikian rupa untuk mengangkut hasil bumi dari daerah Jember, Situbondo dan Pasuruan ke Eropa.
Probolinggo dengan pelabuhannya, kala itu memiliki fungsi ekonomi dan pemerintahan. Dalam konteks tersebut, segmentasi kawasan yang dilakukan pemerintah menemukan relevansinya.
Dengan nilai sejarah tersebut, struktur ruang yang dirancang sejak era Kolonial diharapkan tak mengalami perubahan. Sebab kalau itu terjadi, jejak sejarah itu akan hilang.
Geliat Kota Pusaka di Indonesia
Punto Wijayanto dari Badan Pelestarian Pusaka Indonesia pada Kementerian Pekerjaan Umumm memaparkan geliat kota pusaka menuju pusaka dunia.
Menurutnya dalam lokakarya itu, tak satupun kota di Indonesia yang ditetapkan sebagai kota pusaka dunia oleh Unesco.
Sementara negara tetangga lainnya, telah memilikinya. Seperti Kota Malaka dan Pinang di Malaysia. Begitu pula dengan Filipina, Vietnam dan Laos.
Tapi, upaya menuju ke arah sana mulai digagas. Pada 2012, kementerian PU memiliki pogram penataan dan pelestarian kota pusaka (P3KP).
Program itu merupakan upaya strategis dengan pendekatan entitas sosio spasial kota untuk membantu penataan ruang kota berbasis pengelolaan keragaman pusaka.
Kota Probolinggo sendiri, telah menjadi partisipan program tersebut. Artinya, kota berpenduduk 243.200 jiwa itu menjadi bagian dari daerah yang memiliki Perda RTRW, Perda Bangunan Gedung, Rencana Aksi Kota Pusaka dan Tim Kota Pusaka Daerah.
Selain itu, juga ada Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang dideklarasikan di Solo, 2008 silam.
Kota Pusaka sendiri merupakan kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak ragawi, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka.
Aset-aset cagar budaya itu, hidup dan berkembang serta dikelola secara efektif. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |