Kisah Syahadat Tunggul Wulung, Sang Penguasa Gunung Limo Pacitan

TIMESINDONESIA, PACITAN – Tunggul Wulung merupakan abdi dalem Kerajaan Majapahit yang bertugas menjaga pusaka. Lantas bagaimana kisah syahadatnya hingga menjadi penguasa Gunung Limo di Desa Mantren, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan?
Bermula saat Raja Majapahit Prabu Brawijaya V yang pada saat itu berhasil diIslamkan oleh Sunan Kalijaga di Gunung Lawu. Mendengar hal itu, Tunggul Wulung tidak terima.
Advertisement
"Kemudian Tunggul Wulung pergi menenangkan diri berjalan ke wilayah selatan Pacitan," kata penerus Juru Kunci Gunung Limo Haji Sunaryo, Senin (7/8/2023).
Seiring waktu berjalan, Tunggul Wulung yang menjadi seorang Resi memutuskan untuk menenangkan diri dengan menetap di lereng Gunung Limo lalu mendirikan padepokan jujukan para pertapa.
"Tunggul Wulung kala itu masih menganut aliran Kapitayan dan menghuni Gunung Limo dalam waktu cukup lama," terang Naryo.
Singkat cerita, Tunggul Wulung pun menyatakan keimanannya dengan ikrar masuk Islam berkat para dakwah para Walisongo.
Dari kisah tersebut, masyarakat setempat meyakini kedatangan para Walisongo dan dapat dibuktikan dengan adanya sebuah gerbang masuk berupa batu besar pada jalur pendakian menuju puncak Gunung Limo.
"Gunung Limo menjadi saksi bisu bagaimana Walisongo mensyahadatkan Tunggul Wulung. Kesaktian para wali itu dibuktikan dengan adanya batu besar yang bisa terbuka hanya dengan membaca syahadat," papar Naryo.
Menurut dia, pintu masuk atau gerbang pertapaan menuju puncak Gunung Limo tersebut hanya memiliki lebar 23 centimeter. Namun, ajaibnya bagi seseorang yang memang diterima, yakni hatinya suci bisa dengan mudah melewatinya.
"Pintu itu namanya Wahyu Setangkep, ada juga yang bilang Watu Belah, kalau orang besar maupun kecil masuk dan diterima ya tetep bisa, kalau nggak diterima ya nggak bisa," jelasnya.
Tak hanya itu, setelah tujuh meter masuk ke dalam yang di sana merupakan pertapaan sekaligus sebagai tempat membebaskan diri Resi Tunggul Wulung dari keterikatan dunia.
"Gunung Limo diartikan ayo bersama sama sembahyang lima waktu, nah disitu kadang-kadang versinya ada yang lain," ujar Naryo.
Masyarakat jika ingin berkunjung mesti hati-hati. Pasalnya, jika nyasar bisa masuk ke petilasan Nyai Abang yang merupakan simbol kemungkaran kepada Allah SWT.
"Yang pertapaan Nyai Abang itu untuk garis kiri atau jalan untuk perbuatan-perbuatan yang menyimpang," tuturnya.
Kini, masyarakat setempat meyakini, bahwa Tunggul Wulung merupakan tokoh Islam babad alas di wilayah tersebut dan menorehkan berbagai kebaikan yang patut dijadikan teladan bagi sebagian besar anak cucu mereka.
Tempat pertapaan Resi Tunggul Wulung menjadi tempat yang dianggap keramat. Menuju ke sana harus berjalan kaki mendaki jalan setapak. Pun di sini pengunjung harus benar-benar menjaga tata krama.
"Jadi Eyang Tunggul Wulung itu penyebar agama Islam yang sebenarnya," pungkas Sunaryo penerus Juru Kunci Gunung Limo yang juga jadi jujukan para pertapa di Kabupaten Pacitan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |