Peristiwa Daerah

Kisah Sopir Bison Jurusan Bromo; Pendapatan Sulit, Bangga Bisa Bahasa Inggris

Senin, 14 Agustus 2023 - 17:13 | 147.05k
Yusuf (sopir angkutan) tengah berdiri lesu di mobil Bisonnya.(Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Yusuf (sopir angkutan) tengah berdiri lesu di mobil Bisonnya.(Foto: Rizky Putra Dinasti/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Melintasi Jalan Raya Bromo, tepatnya di sisi selatan Terminal Bayuangga, Kota Probolinggo, Jatim, terlihat deretan kendaraan minibus Isuzu Bison. Sebagai angkutan umum jurusan wisata Gunung Bromo, kendaran itu parkir tanpa penumpang.

Sejumlah minibus Bison tersebut belum beroperasi selama lima hari terakhir. Tidak heran, beberapa sopir pada antrean kedua dan ketiga, hanya memarkirkan kendaraannya. Sementara mereka pulang.

Advertisement

Ahmad Yusuf, salah satu sopir Bison asal Triwung Kidul, Kecamatan Kademangan, Kota Probolinggo mengaku masih belum mendapatkan penumpang.

"Saya berangkat dari rumah sekitar pukul setengah lima pagi. Mobil sudah menunggu di sini. Sudah lima hari ini mobil belum beroperasi. Jadi saya menunggu ada penumpang," kata pria kelahiran 1986 itu.

Ayah dari seorang anak ini menceritakan, dirinya sudah menjadi sopir Bison sejak 2002. Pada waktu itu, jalur menuju Gunung Bromo masih jarang dilalui kendaraan jip. Bus pariwisata juga jarang sekali masuk. Sehingga sopir-sopir Bison masih bisa mendapatkan banyak penumpang.

Namun seiring berjalannya waktu, jumlah kendaraan jip dan bus pariwisata menuju Gunung Bromo semakin bertambah. Ditambah lagi dengan adanya layanan angkutan online yang berpelat hitam. Sehingga, situasi kendaraan umum jenis Bison pun menjadi lebih sulit.

"Dulu model bisnis transportasi Bromo ini cukup menguntungkan. Bahkan kami terus bergerak untuk mencari penumpang dan selalu ada. Namun seiring waktu, semakin banyak orang memiliki kendaraan sendiri, baik sepeda motor maupun angkutan lainnya. Sehingga, mencari penumpang secara mobile tidak lagi kami gunakan,” ungkapnya.

Berangkat Jika Sudah 10 Penumpang

Kemudian, strategi operasional berubah. Yakni dengan cara stay di selatan terminal. Ketika ada penumpang, baru akan berangkat.

"Kami baru berangkat jika sudah ada 10 penumpang. Setiap penumpang membayar Rp 50 ribu hingga mencapai Gunung Bromo atau Cemoro Lawang,” katanya.

Terkait dengan pendapatan harian, kata Yusuf, jumlahnya tidak menentu. Bahkan, jika dihitung, bisa mencapai sekitar Rp 400 ribu per hari.

"Dulu, ketika mengambil mobil dari garasi, kami harus membayar setoran sebesar Rp 150 ribu. Namun sekarang sudah berbeda. Kami hanya membayar setoran setelah mendapatkan penumpang, dan sistemnya berdasarkan persentase,” lanjutnya.

Yang menjadi kendala utama, lanjut Yusuf, adalah pendapatan yang minim. Ia sering kali hanya mendapatkan sekitar Rp 50 ribu dalam sehari jika dibagi rata. Jumlah ini tentu tidak mencukupi, terutama jika harus menunggu dalam jangka waktu lama.

"Setelah membagi biaya solar dan setoran kepada juragan, saya hanya mendapatkan sekitar Rp 100 ribu. Kemudian, uang tersebut harus dibagi lagi dengan kenet. Jadi, masing-masing hanya mendapatkan sekitar Rp 50 ribu,” cerita dia.

Namun, jika harus menunggu sepanjang hari, belum lagi biaya makan dan rokok, tentu pendapatan tersebut tidak mencukupi. Terlebih lagi, untuk kebutuhan sehari-hari.

Kerjasama dengan Hotel dan Jip

Hal senada juga diungkapkan oleh Alif, (39) warga Triwung Kidul, Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo. Menurutnya, cara mengakali agar pendapatan yang kecil itu tetap bisa menghasilkan, yakni dengan bekerja sama dengan jip dan hotel.

“Jadi ceperannya ada di sana. Untuk satu kamar Rp 25 ribu. Jadi misalkan kami mengangkut pengunjung dari terminal serta diminta carikan hotel. Contoh buka dua kamar. Jadi pihak hotelnya memberikan Rp 50 ribu. Begitu juga dengan jip,” terangnya.

Dengan demikian, Alif juga turut serta mempromosikan wisata Gunung Bromo. Tujuannya agar tetap mendapatkan fee baik dari hotel maupun jipnya.

“Jika tidak diakali demikian, hanya mengandalkan pendapatan dari Bison, maka jelas tidak cukup,” tuturnya.

Slamet Akbar, pria yang sudah 10 tahun lebih menjadi sopir Bison pun demikian. Menurut pria 43 tahun itu, kebanyakan sopir Bison merupakan warga setempat. Sehingga, meski mobilnya ditinggal di terminal, namun mudah pantauannya. 

Ogah Tinggalkan Pekerjaan, Bangga Bisa Bahasa Inggris

Bagi ketiga pria yang sudah lebih dari 10  tahun bekerja sebagai sopir dan kernet bison itu, sulit untuk meninggalkan pekerjaan tersebut, meski penghasilnya tak seberapa. Sehingga mereka belum terpikirkan untuk beralih ke pekerjaan lain.

“Saya dari kecil, awal kerja hingga saat ini jadi sopir Bison. Meski penampilan sedikit berantakan seperti ini, rata-rata kami bisa berbicara Bahasa Inggris walaupun tidak benar 100 persen. Sebab hal itu dibutuhkan ketika ada Turis luar negeri datang untuk naik Bison ke wisata Gunung Bromo,” lanjut sopir Bison ini.

Menggunakan google maps, jarak 38,2 kilometer dari Terminal Bayuangga, Kota Probolinggo, menuju Gunung Bromo dapat ditempuh selama 1 jam 11 menit dengan mobil. Namun jika menggunaan motor, waktu tempuhnya 1 jam. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Muhammad Iqbal
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES