Mengenal Upacara Adat Baritan, Cara Warga Gawang Pacitan Usir Pagebluk

TIMESINDONESIA, PACITAN – Banyak cara manusia menolak marabahaya yang dapat mengancam keselamatan jiwanya. Seperti dilakukan warga Dusun Wati, Desa Gawang, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, yakni menggelar Upacara Baritan untuk mengusir pagebluk.
Menurut sesepuh adat setempat Sutrisno (66), Upacara Baritan menjadi tradisi turun temurun sejak abad ke 16 atau 1600 Masehi di mana kala itu wabah pagebluk melanda dan belum ada obatnya.
Advertisement
"Dulu itu ada pagebluk yang mengerikan, para masyarakat ketakutan, gejalanya pagi demam sorenya sudah mati," kata Sutrisno, Selasa (15/8/2023).
Upacara Baritan, lanjut pria yang disapa akrab Mbah Mijan itu, kini dilakukan setiap memasuki bulan Suro dalam penanggalan Jawa atau Muharram Hijriyah.
"Kalau dulu dilakukan pada saat terjadi wabah pagebluk. Sekarang sudah menjadi adat di dusun kami," ujarnya.
Sutrisno bercerita, kala itu wilayahnya masih menjadi kekuasaan anak turun Ki Buwono Keling ke-8. Yakni Bayu Ratas dan Posong Singo Yudho. Atas bisikan ghaib, kedua tokoh ini melakukan tapa brata di Gunung Pongko Wati selama 40 hari.
"Tujuannya agar wabah pagebluk segera reda dan tidak menimbulkan korban jiwa," terangnya.
Setelah bertapa, kedua sosok tersebut mendapatkan petunjuk untuk melaksanakan ritual tolak bala. Semua syarat pun disanggupi. "Jika menginginkan wabah ini reda, siapkan ayam dan kambing kendhit. Terus lakukan ruwatan di bulan Suro," ucap Sutrisni menirukan kisah tersebut.
Prosesi Upacara Adat Baritan
Masyarakat diminta untuk melakukan bersih desa dan memperindah menghias lingkungan dengan ornamen janur muda yang dipasang di setiap jalan dan gapura.
Kaum perempuan diminta menyiapkan berbagai hidangan dan hasil palawija untuk kelengkapan upacara.
Malam hari sebelum ritual digelar, masyarakat melakukan tirakat membaca wirid dan sholawat hingga pagi secara serentak. "Supaya diberi kelancaran, jadi tidak boleh tidur malam," ucap Sutrisno.
Upacara Baritan dimulai yang ditandai dengan dipukulnya kentongan oleh masyarakat secara serentak. Pukulan pertama diartikan sebagai persiapan, pukulan kedua berarti komando perjalanan menuju makam setempat. Hasil bumi, ayam dan kambing pun diarak oleh warga.
Setelah ziarah dan tabur bunga makam pendahulu, barisan arak-arakan melanjutkan perjalanan menuju lapangan Dusun Wati.
Seorang juru kunci Upacara Baritan langsung melakukan debus dengan media cambuk. "Itu lambang pengusiran roh jahat dari Bumi Jawa, orang yang dicambuk sudah dibekali ilmu kebal. Tak lagi merasakan sakit," jelas Sutrisno.
Puncak Upacara Baritan, warga menyaksikan pemotongan ayam dan kambing. Bagian kepala yang telah dipotong lalu dikubur di tengah lapangan. Sedangkan kakinya dipendam di empat titik gerbang masuk Dusun Wati.
Daging ulam sari dan nasi suci yang telah matang selanjutnya dibagikan ke semua penonton dan peserta di penghujung Upacara Baritan.
"Ditutup dengan makan bareng yang disebut kembul bujono," pungkas Sutrisno, tokoh pelestari Upacara Baritan di Kabupaten Pacitan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |