Pemberontakan PKI 1948 Madiun dan Peristiwa Kelam di Pacitan

TIMESINDONESIA, PACITAN – Dalam upaya merebut kekuasaan negara, Pemberontakan PKI 1948 Madiun menyisakan kisah peristiwa kelam di Pacitan.
Hal ini tidak terhindarkan karena Pacitan termasuk dalam kesatuan wilayah Karesidenan Madiun bersama dengan beberapa kabupaten lainnya.
Advertisement
Seperti wilayah lainnya, PKI tidak hanya menentang pemerintah RI pada saat itu, tetapi juga menjadikan umat beragama, terutama Islam, serta pihak-pihak dari partai politik yang berseberangan dengan komunis sebagai musuh utama mereka. Tekanan yang diberikan oleh pengikut PKI ini sangat dirasakan di Pacitan.
Salah satu saksi sejarah kelam peristiwa ini adalah Perguruan Islam Pondok Tremas di Kecamatan Arjosari, yang berjarak 15 kilometer utara Kota Pacitan.
KH. Hamid Dimyathi, yang pada saat meletusnya pemberontakan Madiun menjadi pimpinan Perguruan Islam Pondok Tremas, bersama 14 pengikutnya, menjadi korban keganasan PKI.
Pesantren yang pernah menjadi tempat mondok Prof. Mukti Ali ini sekarang dipimpin secara kolektif oleh beberapa kiai muda, cucu-cucu keponakan KH. Hamid Dimyathi.
Ketika ditanya tentang perjuangan kakek mereka yang menjadi korban keganasan PKI pada tahun 1948, kiai muda ini hanya dapat mengandalkan catatan sejarah yang disusun oleh para orang tua mereka. Sejarah ini menjadi satu dengan sejarah berdirinya pesantren.
KH. Hamid Dimyathi adalah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekitar saat Proklamasi Kemerdekaan dan seorang aktivis Partai Masyumi. Selain menjadi pemimpin pesantren, ia juga menjabat sebagai Kepala Penghulu di Pacitan.
Kesibukannya yang padat membuatnya tidak dapat memenuhi undangan Bung Tomo di Surabaya. Bung Tomo mengundang para pimpinan pondok pesantren untuk meminta bantuan dalam mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI di kalangan ulama dan kiai.
Lalu, KH. Hamid Dimyathi mewakilkan kepada kakak iparnya, Kiai Mursyid, untuk memenuhi undangan tersebut. Situasi yang kacau dan tidak menentu di Pacitan sudah dirasakan sejak sebelum meletusnya Pemberontakan PKI 1948 di Madiun.
KH. Hamid Dimyathi merasa prihatin atas situasi ini dan mencoba menghubungi Pemerintah Pusat di Yogyakarta untuk melaporkan kondisi yang mengancam keselamatan umat di Pacitan.
Namun, usahanya berkomunkasi melalui sarana telepon rupanya gagal lantaran disabotase PKI. Oleh karena itu, KH. Hamid Dimyathi bersama 14 pengikutnya berangkat ke Yogyakarta.
Mereka melakukan perjalanan dengan jalan kaki, berusaha untuk menyamarkan diri. Namun, ketika berhenti di sebuah warung di wilayah Pracimantoro, penyamaran mereka terbongkar oleh gerombolan pemberontak PKI.
Mereka ditangkap dan dibawa ke Baturetno, di mana mereka mengalami penyiksaan yang sangat kejam. Setelah seminggu di Baturetno, mereka dipindahkan ke Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, dan di sana mereka disiksa dan dibunuh secara keji.
Dari rombongan ini, satu orang, Shoimun, dibiarkan hidup dengan harapan bahwa ia akan mengabarkan peristiwa ini kepada keluarga mereka dan agar berita ini menimbulkan rasa ketakutan di kalangan umat Islam yang menentang PKI. Setelah situasi aman, Shoimun memberikan petunjuk untuk menemukan kuburan massal di bekas sumur tua di Tirtomoyo.
Hingga saat ini, bekas tempat pembantaian tersebut telah diberi tanda sebagai tanda penghormatan kepada 14 korban, lengkap dengan prasasti di Taman Makam Pahlawan Jurug Surakarta.
Kisah Pemberontakan PKI 1948 Madiun dan peristiwa kelam di Pacitan tersebut disarikan dari buku "Kesaksian Korban Kekejaman PKI 1948, Kesaksian Pesantren Tremas Pacitan" Komite Waspada Komunisme, Jakarta: 2005, halaman 55-58. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |