Jejak Sejarah Desa Lumbang Probolinggo melalui Sumber Mata Air Tirto Ageng

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Desa Lumbang, yang terletak di Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, memiliki akar sejarah yang kuat yang menghubungkannya dengan zaman Majapahit. Sejarah terbentuknya Desa Lumbang tak terlepas dari peristiwa pemisahan diri para pengempuh dari keturunan Ken Arok.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Lumbang, Asmun, menjelaskan bahwa pada zaman Majapahit, terdapat pengempuh yang merasa tidak senang dengan keturunan Ken Arok.
Advertisement
Salah satu pengempuh, yakni Empu Gandring, tewas di tangan Ken Arok. Hal ini menyebabkan sejumlah pengempuh memutuskan untuk memisahkan diri dari keturunan Ken Arok dan menetap di Desa Lumbang, dimana pada saat itu masih berupa hutan belantara.
“Pada jaman mojopahit, ada empu yang tak suka keturunan ken arok. Karena pada jaman itu Empu Gandring dibunuh oleh ken arok. Sehingga ada beberapa empu yang memisahkan diri dari keturunan ken arok dan berada di Desa Lumbang yang dulunya hutan belantara,” ungkap Asmun.
Empu yang bermukim di Desa Lumbang saat itu adalah Empu Nameng Joyo, Empu Baridin, dan Eyang Putri Mbh Mubit Sri Murni. Eyang Putri Mbh Mubit Sri Murni menjadi satu-satunya dayang Lumbang pada masa itu.
Para leluhur ini kemudian melakukan tirakat di bawah pohon luh, yang pada masa itu masih banyak di sekitar Sumber Air Tirto Ageng.
Saat proses tirakat berlangsung, sumber air yang melimpah bermunculan di bawah pengembaraan mereka. Bahkan dikisahkan bahwa kebesaran sumber yang muncul saat tirakat membuat Eyang Putri Mbh Mubit Sri Murni melayang seperti terapung.
"Saat itulah nama Lumbang terbentuk. Eyang putri memberikan nama Lumbang, yang berasal dari kata 'Lu' dari pohon luh dan kata 'bang' dari kata kemambang atau ngambang," ungkap Asmun.
Munculnya tiga sumber besar tersebut juga diberi nama masing-masing. Sumber yang ditirakati oleh Eyang Putri dinamai Sumber Kali Gedhe, Eyang Nameng Joyo menamai Sumber Umbulan, dan Eyang Baridin menamai Sumber Kali Duren.
Selain pohon luh, daerah ini juga dulu dikenal dengan banyaknya pohon duren. Namun, saat ini pohon luh tinggal beberapa saja.
Potensi dan Pemanfaatan Sumber Air Tirto Ageng
Sumber air di Tirto Ageng, Desa Lumbang, Kecamatan Lumbang, Kabupaten Probolinggo, sangat melimpah. Selain tiga sumber besar, ada juga sejumlah sumber kecil.
Kejernihan air sumber-sumber ini tidak kalah dengan mata air di Mada Kalipura, sehingga airnya dapat diminum dalam kondisi mentah.
Warga setempat memanfaatkan sumber air ini untuk berbagai keperluan seperti minum, mandi, mencuci pakaian, mencuci kendaraan, dan aktivitas lainnya.
Saat ini, sekitar 78 pipa telah terpasang untuk mengalirkan air ini ke sejumlah desa di tiga kecamatan di Kabupaten Probolinggo: Lumbang, Wonomerto, dan Tongas.
Mata air Tirto Ageng memiliki potensi menjadi destinasi wisata yang menarik. Pemerintah daerah, melalui LMDH, sedang berusaha membangun lokasi ini agar menjadi lebih baik.
Akses yang mudah, terutama melalui tol Tongas, membuatnya menjadi pilihan menarik bagi wisatawan yang ingin mengunjunginya. Desa Lumbang yang berada 6000 meter di atas permukaan laut juga menawarkan udara sejuk.
Menurut Kepala Desa Lumbang, Tiyarsih, dengan luas desa 420 hektar dan 4.100 penduduk yang terbagi dalam 4 dusun, 11 RW, dan 38 RT, potensi destinasi wisata sangat besar, terutama dengan adanya Sumber Air Tirto Ageng.
Tiyarsih juga menjelaskan bahwa lokasi ini pernah menjadi tanah bengkok desa, tetapi pada tahun 1952, terlalu banyak tegal dan sawah, sehingga lokasinya dikelola oleh Perhutani pada tahun 1968 dan disahkan sebagai hutan lindung pada tahun 1979.
“Karena masuk wilayah perhuutani, maka untuk proses pembangunan, desa tida bisa berbuat banyak. Sebab jika menggunakan dana desa, maka kedepan akan timbul permasalahan,” ujar Tiyarsih.
Oleh karena itu, saat ini, Tirto Ageng dikelola oleh LMDH yang dipimpin oleh Asmun. Menurut Asmun, Sumber Air Tirto Ageng sangat berpotensi menjadi destinasi wisata. Bahkan ada sejumlah investor yang berkeinginan untuk berpartisipasi. Namun, warga setempat sepakat menolaknya.
“Jadi jika dikelolah oleh investor, maka warga sini tidak akan mendapat apa-apa. Sementara keinginan kita, Tirto Ageng ini bisa dikelolah dengan baik dan dapat menyerap tenaga kerja bagi warga lokal cukup banyak,” tutup Asmun. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Sholihin Nur |