Keunikan Selametan Buyut Ketut, Pembawa Kedamaian Masyarakat Osing

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di Banyuwangi, Jawa Timur, kisah mistis dan tradisi yang memesona menggelayut erat dalam kehidupan masyarakatnya. Di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, tepat di bawah bayang-bayang pegunungan yang menjulang, terdapat suatu kebiasaan turun-temurun yang membawa nuansa magis dan syukur yang begitu kuat yakni tradisi Selametan masyarakat Osing.
Desa Olehsari menjadi saksi dari ritual yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, menjalin erat benang merah antara generasi dan leluhur.
Advertisement
Menu Selametan dengan kuliner khas suku Osing yakni Pecel Pitik. (FOTO : Anggara Cahya /TIMES Indonesia)
Tradisi Selametan diadakan sebagai bentuk penghormatan kepada Buyut Ketut, leluhur yang diyakini membawa kedamaian dan ketenangan ke wilayah mereka.
Dikisahkan, Buyut Ketut adalah pribadi yang dianggap sebagai penjaga keharmonisan alam dan manusia. Legenda tersebut masih terus diceritakan dari mulut ke mulut, seperti angin yang membawa rahasia sepanjang zaman.
Masyarakat mulai melakukan Bejik-bejik Pondok diarea pusara Buyut Ketut. (FOTO : Anggara Cahya /TIMES Indonesia)
Setiap tahun, masyarakat Osing berkumpul untuk melaksanakan Selametan sebagai tanda syukur atas kedamaian yang terus mengalir di desa mereka.
Selametan untuk Buyut Ketut tersebut digelar sebelum dilakukanya kegiatan yang dinamakan Bejik-Bejik Pondok. Ketua Adat Seblang Desa Olehsari, Ansori, mengatakan, bahwasanya Selametan dan kegiatan bejik-bejik pondok dilakukan setiap dua sampai lima tahun sekali, hal itu dilaksanakan tergantung saat melihat adanya kerusakan pada pondok.
Namun dalam proses perbaikan tersebut tidak serta merta direnovasi, melainkan ada hari khusus yang telah ditentukan sebelumnya. Kemudian setiap kali perbaikan selalu diawali dengan selametan bersama masyarakat.
“Masyarakat Desa Olehsari mengadakan bejik-bejik pondok buyut Ketut tersebut dalam rangka merenovasi pondok pelindung area pusara dan petilasanya” ucap Ansori, Kamis (14/12/2023).
Nampak masyarakat setempat antusias datang untuk memperbaiki dan merawat makam leluhur yang dipercaya sebagai sosok penjaga dan pelindung desa dari segala marabahaya yang terjadi.
"Tradisi ini adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kami kepada Buyut Ketut yang merupakan leluhur masyarakat Olehsari yang telah berjasa hingga saat ini dalam memberikan kedamaian pada masyarakat," jelas Ansori.
Sementara itu, Kepala Desa Olehsari, Joko Mukhlis, menceritakan, jika pada zaman dahulu proses renovasi pondok Buyut Ketut itu juga sempat diiringi proses arak-arakan. Jadi, masyarakat ramai-ramai berjalan dari rumah perias seblang atau salah satu sesepuh adat Desa Olehsari menuju makam.
Terlebih, Joko Mukhlis menambahkan, dulu masyarakat yang bergabung dalam tradisi tersebut bisa sampai 500 orang. Sayangnya saat ini proses arak-arakan sudah sulit dilakukan sehingga proses selametan dan bejik-bejik pondok langsung dilakukan di area makam karena renovasi dilakukan dengan cara tambal sulam.
“Pondok ini terbuat dari bahan bambu dan dengan atap ilalang yang sudah kering. Kami berusaha untuk menjaga keaslian pondok ini,” tandas Joko.
“Hal ini merupakan salah satu wujud gotong royong dari masyarakat Desa Olehsari,” imbuhnya.
Kegiatan Selametan dan Bejik-Bejik Pondok Buyut Ketut tersebut melibatkan masyarakat mulai usia muda hingga yang usia lanjut pun juga turut berpartisipasi. Terlebih tradisi tersebut merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya oleh masyarakat Olehsari.
“Selain sebagai wujud gotong royong, kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat desa Olehsari, pantas jika Buyut Ketut dipercaya membawa perdamaian,” tutur Joko. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |