Sanggar Budaya Gogaro Nyinga, Melestarikan Adat dan Budaya Galela yang Dilupakan Pemerintah

TIMESINDONESIA, HALMAHERA UTARA – Gogaro Nyinga adalah satu satunya Sanggar Budaya di Desa Mamuya, Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, yang melestarikan adat dan budaya suku Galela.
Sanggar Budaya Gogaro Nyinga merupakan lembaga pendidikan non formal yang bergerak di bidang budaya Galela khususnya. Sejak didirikan 2 Maret 1992 hingga kini masih eksis mewarisi dan memperkenalkan Budaya suku Galela, mulai dari berbagai macam tarian hingga adatnya.
Advertisement
Menurut penuturan Rajak Krois selaku anggota, berdirinya sanggar bermula dari almarhum Mahmud Do Bayan yang juga selaku Kiemalaha pada 1971-1998 di Mamuya. Almarhum mendirikan sanggar ini diberi nama “Group Gogaro Nyinga” yang diketuai oleh almarhum Muhammad Ali Haruna.
Niat mulia Almarhum Mahmud Do Bayan kemudian mendapat dukungan dari masyarakat Desa Mamuya terutama dari keluarga, teman-teman terdekatnya serta seorang sastrawan Galela ternama, Idrus Ahmad Djoge Lagora.
Setelah bermusyawarah mereka bersepakat mendirikan “Group Gogaro Nyinga”. Pemberian itu karena mempunyai makna yang artinya “memberikan kesenangan pada hati” atau juga berarti "saling mengajak dan saling mengingatkan".
Di tahun 1992-1999 Group Gogaro Nyinga selalu mengembangkan dan melestarikan Budaya Galela terutama dalam seni tari yaitu Tari Tide-tide, Tari Donci, Tari Denge, Tari Cakalele, Bela Diri Silap, Khadarat menggunakan bahasa Galela, dan Salube.
Logo Sanggar Budaya Gogaro Nyinga Mamuya Galela Kabupaten Halmahera Utara. (Foto: Muhammad Diadi for TIMES Indonesia)
Mereka telah diundang ke berbagai wilayah di Maluku Utara baik Galela, Tobelo, Loloda, Morotai, Jailolo, dan Ternate dalam acara pernikahan maupun pementasan seni dan budaya. Hanya saja di tahun 1999-2000 terjadi perang SARA sehingga mengakibatkan mandeknya aktivitas Gogaro Nyinga pada saat itu.
Lalu pada tahun 2020 atas inisiatif para pelajar serta pemuda desa Mamuya untuk menghidupkan kembali sanggar tersebut. Tepat pada 13 Oktober 2020 diresmikan dan dibina oleh seorang pemuda, Muhammad Diad,i serta diketuai oleh seorang remaja, Arya Fitrah R, dengan nama yang telah diboboti menjadi “Sanggar Budaya Gogaro Nyinga”.
Hingga saat ini, Sanggar Budaya Gogaro Nyinga eksis melaksanakan kegiatan kebudayaan yaitu Pementasan Seni Budaya, Tradisi Pawai Obor setiap Ramadhan, Tradisi Penghayatan Obor saat malam Lailatul Qadar, bersama Remas dan Pemuda Muslim Mamuya serta diundang diberbagi kegiatan kebudayaan lainnya.
Saat ini Sanggar Budaya Gogaro Nyinga terus berkembang dan belajar melestarikan kebudayaan daerah khususnya Galela. Tujuannya, agar kedepannya budaya Galela tidak terkikis dengan pengaruh moderenisasi dan dapat lestari serta diajarkan pada generasi berikutnya.
Terdapat 10 Makna dan Filosofi Logo Sanggar Budaya Gogaro Nyinga
1. Madadatoko (perisai) di ibaratkan sebagai seorang perempuan yang mempunyai sifat lembut, pengasih dan penyanyang serta mampuh menjagah harkat martabat dirinya
2. Taito (pedang) di ibaratkan sebagai seorang lelaki yang mempunyai sifat melindungi serta berkorban demi orang yang dikasihi
3. Sarau merah (penutup kepala) diibaratkan sebagai keberanian untuk belajar dan mempertahankan budaya daerah.
4. Sabeba (kain cawat) sebagai simbol laki-laki yang mampuh menjaga kehormatan sukunya.
5. Gosoma (beduk) sebagai simbol kegembiraan hati serta rasa syukur terhadap Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa).
6. Tala Mamuya (Gunung Mamuya) sebagai simbol lahirnya generasi yang tumbuh dengan budaya serta peduli sesama manusia, alam, dan hewan.
7. Lingkaran merah tebal adalah para pendiri yang selalu melindungi sanggar.
8. Lingkaran hitam kecil adalah para generasi yang selalu berkarya dalam sanggar.
9. Warna putih pada dasar logo bermakan keanggunan serta kesederhanaan para anggota sanggar sebagai wujud tingginya sebuah adab dalam kehidupan sehari-hari.
10. Semboyan dari sanggar Budaya Gogaro Nyinga adalah Berkaryalah agar mengakar dan tumbuh menjadi cinta.
Uniknya, Sanggar Budaya Gogaro Nyinga menjadikan alam seperti pantai sebagai sarana untuk berkumpul para pengurusnya, dan berkreasi atau berkegiatan seni demi melestarikan budaya suku Galela. Namun sayang belum dapat perhatian dari pemerintah setempat, padahal tugas pemerintah daerah adalah melestarikan seni budaya lokal.
"Hingga kini sanggar ini masih mandiri, segala aktivitasnya yang berkonsekuensi anggaran terpaksa harus merobek dari saku masing-masing pengurus atau mencari dana dengan menjual alat tradisional dan kue. Sementara Pemkab Halmahera Utara maupun Provinsi Maluku Utara hingga saat tidak ada kepedulian sama sekali dalam mengembangkannya," ungkap Pembina Sanggar Budaya Gogaro Nyinga Muhammad Diadi, Miris. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |