Wanita yang Dinikahi Lelaki Suku Galela Disambut Istimewa dengan Tradisi Penerimaan Menantu

TIMESINDONESIA, HALMAHERA UTARA – Bagi setiap wanita di dunia ini yang menikah dengan lelaki Suku Galela, Halmahera Utara, Maluku Utara, ketika dibawa suaminya ke Galela akan diperlakukan istimewa dalam acara penerimaan menantu (motdoka) dengan tradisi dohu tiodo (cuci kaki).
Dalam bahasa adat Galela, tradisi “cuci kaki” disebut sebagai “dohu tiodo”. Tradisi ini juga dimaknai sebagai pembersihan diri dari menantu perempuan atau biasa disebut sebagai “motdoka”, yang telah menikah dengan laki-laki dari Suku Galela.
Advertisement
Tujuan dari tradisi cuci kaki ini sebagai perlindungan adat kepada anak mantu, serta memperkenalkan kepada keluarga suaminya (o geri doroa) dan masyarakat (o kawasa) agar menantunya dapat terlindungi dari perlakuan yang tidak sopan dari orang atau masyarakat sekitar.
Diketahui bersama bahwa cuci kaki ini adalah tradisi yang telah diwarisi oleh lelehur dari Suku Galela atau o topora sejak lama dan harus dipertahankan serta melestarikan agar generasi tak lupa dengan identitas sukunya.
Dimana tradisi cuci kaki ini menunjukkan derajat perempuan yang sangat dihormati karena bagi Suku Galela perempuan dianggap sebagai pemegang unsur nyawa atau jiwa (o gikiri). Alasannya, perempuan memiliki rahim sebagai wadah atau tempat persemaian bibit kehidupan dari laki-laki, serta air susu yang dapat memberi kehidupan. Perempuan juga dianggap sebagai lambang kesuburan.
Tradisi cuci kaki ini dilaksanakan di rumah suaminya dan dibuatlah sabua (tenda) di depan rumah orang tua suaminya. Masyarakat juga terlibat di dalamnya untuk menyaksikan pelaksanaan tradisi ‘dohu tiodo” ini sebagai rasa memiliki sesama. Waktu pelaksanaan dapat dilakukan pada pagi hari, sore, atau malam hari sesuai kesepakatan dari pihak keluarga laki-laki.
Lalu modoka atau menantu akan dipersiapakan untuk memakai pakaian adat Suku Galela yang disebut “gala” dimana ia memakai kebaya (kokotu) dan rok bunga (o gado ma leru) dan aksesoris adat lainnya.
Lalu menantu akan diantar oleh keluarganya dan diiringi oleh nyanyi-nyanyian (o joma-joma) serta dibuatlah payung dari kain (o lopu-lupu) untuk menutupi kepala menantu agar dapat mencegah ataupun menahan air hujan dan terpaparnya sinar matahari.
Ketika menantu dibawa ke rumah suaminya maka disambut dengan tarian cakalele adat (o soda adati) sebagai simbol jika keluarga laki-laki dapat melindungi menantu atau iparnya dalam kondisi apapun baik susah dan bahagia.
Setelah itu, menantu akan diangkat oleh dua wanita tua dari keluarga laki-laki dan dipangku oleh seorang gadis yang masih perawan (o jujaru) untuk pelaksanaan prosesi adat cuci kaki. Prosesi dilanjutkan dengan penyampaian dari tetua adat atau biasa disebut “siloloa” sebagai tanda dimulainya tradisi cuci kaki. Setelah penyampaian selesai maka seorang wanita tua akan memimpin upacara (o sowohi) atau tradisi cuci kaki tersebut.
Dalam pelaksanaan tradisi cuci kaki ini dari pihak laki-laki mempersiapkan beberapa bahan untuk kebutuhan dalam pelaksaan tradisi ini yaitu: mangkok putih (o udo-udo), piring (o lelenga), air wangi (o muja), rumput belulang (o paredoku), gayung dari daun palem (o gugui), satu butir telur (o boro), sepotong batang pohon sirih (o bido ma uma), dan nasi kuning (daroko). Hanya saja bahan terakhir seperti telur, sirih, dan nasi kuning sudah tidak dipakai lagi karena pengaruh agama.
Sowohi akan membuka tradisi ini dengan memakai bahasa Galela yaitu;
“ria de o gia nongoru, na nanga modoka wobolaka, de poi sambut, kiranya ni si ijin lasupaya awi dohu pa tiodo”.
Artinya saudara-saudara, adik, dan kakak, ini anak mantu perempuan kami telah datang, kiranya disambut, mohon diberikan izin agar supaya dapat melaksanakan cuci kaki.
Setelah diberikan izin oleh keluarga dan masyarakat maka tradisi cuci kaki akan dimulai dan sowohi berhak sepenuhnya untuk memimpin prosesi sampai selesai. Prosesi akan berjalan dengan hikmat dan suka cita dari kedua keluarga mempelai dan masyarakat.
“Ria de o gia nongoru, mia modoka ma dohu po tiodo kasi” lalu disambut oleh masyarat dengan kata “jo”. Artinya saudara-saudara, adik dan kakak, anak mantu perempuan kami akan kami basuh kakinya?, lalu disambut dengan kata “iya”.
Setelah prosesi tradisi cuci kaki ini selesai maka menantu dihibur dengan tarian tide-tide dan cakalele oleh masyarakat dan keluarga suaminya dan diberi berbagai hadiah serta uang.
Menurut Pembina Sanggar Gogaro Nyinga, Desa Mamuya, Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, Muhammad Diadi, tradisi Suku Galela ini dilakukan dengan harapan menantu yang sudah masuk dalam lingkar keluarga laki-laki memiliki hati yang bersih untuk memulai rumah tangga mereka di lingkungan keluarga laki-laki sampai kematian memisahkan mereka. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |