Wacana Pajak Hiburan Naik 40-60 Persen, PHRI DIY Tegaskan Tidak Setuju

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI DIY, Deddy Pranowo turut mengomentari kebijakan pemerintah pusat yang menaikkan pajak hiburan sebesar 40-60 persen.
Deddy menyebutkan, kebijakan ini ngawur. Apalagi, dirinya dan teman-teman sebagai pelaku wisata lainnya di DIY tidak dilibatkan atas kebijakan tersebut. Kenaikan ini tentu akan berdampak besar terhadap pariwisata di Daerah Istimawa Yogyakarta (DIY). Sebab, DIY merupakan tujuan destinasi utama wisata para wisatawan lokal maupun mancanegara.
Advertisement
Padahal, industri pariwisata di DIY baru mulai bergeliat setelah diterjang pandemi Covid-19. Deddy mencontohkan sektor perhotelan, yang mana pada 2023 okupansi hotel di DIY dari Januari-Desember sudah menyentuh angka 85 persen.
“Kalau bisa katakan, Jogja bisa marah dengan kebijakan ini. Karena kita kan destinasi wisata favorit nomor 1 lho. Kalau aturan ini mau dilakukan jelas okupansi hotel menurun drastis, juga wisatawan yang mau belanja ke DIY juga jadu malas, mereka memilih ke Malaysia, Thailand, bahkan Singapura. Kami tegaskan, minta pemerintah penundaan, tapi secara PHRI Nasional kami menolak, ini kebijakan ngawur,” papar Deddy Pranowo di Kantor Kadin DIY, Rabu (24/1/2024).
Dengan adanya kebijakan di tengah tahun politik ini, PHRI DIY mendesak pemerintah untuk mengevaluasi ulang. Bila tetap ingin menaikkan, maka dirinya mengusulnya angka kenaikan hanya dikisaran 5 persen.
“Dalam waktu dekat ini kita coba soundingkan ke Ngarsa Dalem buat disampaikan ke pusat kalau kita keberatan atas wacana kebijakan tersebut, aturan itu juga kontradiktif dengan apa yang disampaikan Kemenpar,” tandas bos Hotel Ruba Grha ini.
Senada dengan Deddy, Penasihat Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) DIY, Edwin Himna mengaku keberatan dengan adanya rencana kenaikan pajak hiburan. Alasannya, wisatawan yang datang ke DIY sebagian besar menggunakan jasa SPA, meski di beberapa negara lain dan negaranya sendiri ada SPA namun memilih DIY karena cukup terjangkau.
“Mereka pasti akan bandingkan harga SPA di sini (Jogja) dengan negara lain misal Thailand, dan coba di Jogja pasti akan ada ketimpangan. Kami harap gak diberlakukan karena akan berdampak buruk,” terang Edwin. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |