Peristiwa Daerah

Dari Malang Jejak Pembunuhan Letkol (Mar) Purwanto Terungkap (3)

Minggu, 18 Februari 2024 - 22:34 | 204.48k
Sebagian besar barang bukti berupa perhiasan emas yang ditemukan di lokasi jurang Songgoriti. (FOTO: Widodo Irianto/ TIMES Indonesia)
Sebagian besar barang bukti berupa perhiasan emas yang ditemukan di lokasi jurang Songgoriti. (FOTO: Widodo Irianto/ TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dari Malang Jejak Pembunuhan Letkol (Mar) Purwanto Terungkap (3)

Mulanya dari Kongsi Rumah Bordil di Gang Dolly

***

Advertisement

Setelah pemeriksaan intensif yang dilakukan polisi, terungkap bahwa "pembantaian" keluarga Letkol (Mar) Purwanto itu dilakukan oleh Sumiarsih dan keluarganya karena ia terbelit tunggakan setoran hasil kongsi rumah Bordil dengan Purwanto di Gang Dolly.

Kronologi Kejadian yang Terungkap dalam Konferensi 

Siang itu, 13 Agustus 1988 sekitar pukul 10.00, mobil Suzuki Carry yang dinaiki Sumiarsih, 40, Djais Adi Prayitno, 54, Daim, 27, Nano, 24, Sugeng, 24 dan Serda (Pol) Adi Saputro meluncur dari rumah Sumiarsih di Kupang Gunung Timur, Surabaya. Mereka meluncur ke rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur XVII. 

Hari itu adalah puncak atau hari "H" dari serangkaian beberapa kali perencanaan pembunuhan itu yang idenya muncul dari Sumiarsih.

Sumiarsih sudah tidak tahan oleh tekanan bertubi-tubi dari Purwanto soal setoran hasil kongsi rumah bordil Sumber Rejeki di Gang Dolly itu yang semula Rp20 juta perbulan. 

Kemudian membengkak menjadi Rp36 juta karena Purwanto menghitung keterlambatan dengan bunga berbunga. Bahkan terakhir hitungan Purwanto sampai ratusan juta rupiah.

Sebelum tragedi berdarah itu terjadi, sebenarnya hubungan Sumiarsih-Purwanto akrab. Purwanto sering datang ke Wisma Happy Home yang dikelola Sumiarsih sejak 1975.

Kala itu wisma Happy Home adalah wisma yang paling ramai di Gang Dolly karena para pekerja seksnya terkenal cantik.

Melihat keuntungan Sumiarsih yang menggiurkan dengan menjual para gadis, Purwanto yang sering "berkunjung" ke situ tergiur dan kemudian mengajak Sumiarsih berkongsi. Sumiarsih menerima tawaran itu.

Singkat kata kemudian Purwanto bisa membuka wisma di Gang Dolly itu. Namanya Sumber Rejeki yang pengelolaannya kemudian diserahkan Sumiarsih dengan kesepakatan Sumiarsih harus menyetor Rp20 juta per bulan. Bila tidak mencapai target, kekurangannya dihitung sebagai utang dan berbunga.

Awalnya setoran itu lancar karena Sumber Rejeki yang mempekerjakan sebagian pekerja seks Happy Home juga "laris manis", ramai dikunjungi pengunjung.

Namun, keuntungan Sumiasih menurun oleh sepinya pengunjung setelah Kepolisian Resort Surabaya Selatan gencar merazia seluruh wisma.

Kepolisian waktu itu gencar mengadakan razia gadis karena beredar kabar bahwa ada yang berusia 12 tahun bekerja di Gang Dolly. Polisi waktu itu akhirnya memang menemukan ada gadis berusia 12 tahun. Tapi bukan di wisma Happy Home maupun wisma Sumber Rejeki.

Tetapi yang kemudian menjadikan runyam, setoran Sumiarsih ke Purwanto ikut seret.

Namun Purwanto tidak mau tahu. Bahkan Purwanto tak segan menganiaya Sumiarsih dan suaminya karena telat memberikan setoran itu. 

Nah, ketika pertemanan Sumiarsih dan Purwanto itu semakin mencapai titik kritis, tiba-tiba sikap Purwanto berubah melunak saat bertemu Rose Mey Wati.

Rose Mey Wati adalah anak kandung Sumiarsih yang selama ini diasuh neneknya di Jombang. Wati, yang kala itu masih SMP dan berusia 15 tahun, menarik hati Purwanto.

Kemudian dengan berselisih, Purwanto menyatakan tak setuju setoran Sumiarsih telat asal Wati boleh "dipakai". 

Tentu saja Sumiarsih marah dan kecewa. Namun saat itu ia tidak berani berbuat apa-apa.

Untuk menghindari kejaran Purwanto itu, Wati kemudian dikenalkan dengan Serda (Pol) Adi Saputro, polisi yang baru saja lulus pendidikan Sekolah Calon Bintara dan ditugaskan di Polsek Kesamben, Jombang. Keduanya pun kemudian dinikahkan pada penghujung tahun 1986.

Sejak itu, Purwanto kembali ke sikapnya semula. Marah, mengancam dan meneror Sumiarsih. Hasrat untuk memiliki Wati juga tidak kendur. Bahkan Purwanto juga sering mengirimkan "orang-orangnya" untuk mengobrak-abrik Wisma Happy Home dan memukuli pegawainya.

Tidak tahan dengan kelakuan Purwanto, Sumiarsih akhirnya tidak punya pilihan. “Purwanto kita habisi saja,” katanya saat berdiskusi dengan suaminya, Djais Adi Prayitno.

Djais Adi Prayitno sempat menasihati Sumiarsih agar mencari cara lain yang tidak dengan membunuh. Tapi Sumiarsih sudah gelap mata dan hati. Ia tetap berniat menghabisi Purwanto dan keluarganya.

Maka disusunlah skenario itu. Mereka berenam, Sumiarsih, Djais Adi Prayitno, Sugeng, Nano, Daim dan Adi Saputro "rapat" di rumah Kupang Gunung Timur, Surabaya.

Hari "H" nya tanggal 13 Agustus 1988. Mereka berlima berangkat sekitar pukul 10.00.

Waktu berada di mobil yang kala itu dikemudikan Daim, Djais Adi Prayitno membagikan alu besi (antan) dan kaus tangan kepada Adi Saputra, Sugeng, Nano, dan Daim.

Namun ketika mereka tiba di depan rumah Purwanto, mereka tidak langsung masuk ke rumah Purwanto karena dilihatnya saat itu di depan rumah Purwanto banyak anak-anak sedang bermain di lapangan bola volly.

Dengan Suzuki Carry itu mereka kemudian berputar-putar menunggu lapangan bola volly itu agak sepi. Setelah keadaan lapangan bola volly sepi, mereka kemudian bertamu. Mereka diterima sendiri oleh Purwanto. 

Waktu diterima Purwanto, istri Purwanto, Sunarsih yang hamil tua sedang berada di dapur bersama keponakannya Sumaryatun. Sunarsih sedang menunggu kelahiran anak keempatnya.

Dua anak Purwanto, Haryo Bismoko (siswa kelas I SMA Trimurti) dan Haryo Budi Prasetyo (siswa SD kelas VI) sedang bermain di depan rumah.

Anak sulung Purwanto, Haryo Abrianto saat itu sedang menempuh pendidikan di Akademi Angkatan Laut (Akabri Laut).

Setelah berbasa basi, kepala Purwanto dihantam dengan palu besi tadi. Purwanto sempat melakukan perlawanan, terbukti ditemukan luka memar di lengannya. Iga Purwanto juga ada yang patah.

Namun Purwanto tidak mampu menghadapi lima orang laki-laki tadi. Ia akhirnya terbunuh di tempat itu dengan kepala pecah. Mayatnya kemudian diseret ke garasi.

Haryo Bismoko dan Haryo Budi Prasetyo yang mendengar ribut-ribut di garasi, datang untuk melihat.

Namun belum sempat melihat lebih jauh kedua anak itu juga dihantam dengan palu besi. Haryo Bismoko sempat berlarian sambil berteriak. Namun tak berlangsung lama, karena Sugeng "menyudahinya". Mayat keduanya juga diseret ke garasi dijadikan satu dengan Purwanto.

Sunarsih dan Sumaryatun yang mendengar ribut-ribut di ruang tamu, juga bermaksud melihatnya. Namun belum sampai di ruang tamu ia sudah dihadang Adi Saputro dan Sugeng.

Mereka berdua inilah yang kemudian mencekik Sunarsih dengan alu sampai terbunuh. Sementara Daim kebagian menghabisi Sumaryatun.

Lengkap sudah. Kelima korban tersebut tewas seketika. Lima orang korban itu kemudian dijadikan satu di garasi. Tempat mobil Taft GT berada. (bersambung)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES