Kisah Pekerja Seksual di Pangandaran, Antara Kontroversi Sosial dan Asa Masa Depan

TIMESINDONESIA, PANGANDARAN – Kehidupan wanita pekerja seks komersial (PSK) di Kabupaten Pangandaran menyisakan ragam kesan.
Di balik stigma sosial negatif kepada mereka, ada harapan yang tidak terbantahkan antara kebutuhan ekonomi dengan masa depan yang mereka cita-citakan.
Advertisement
Dan TIMES Indonesia berhasil melakukan dialog dengan mereka para Wanita Pekerja Seksual (PSK) di beberapa tempat prostitusi yang ada di Kabupaten Pangandaran. Salah satunya sebut saja Melati, seorang janda berusia 30 tahun yang memiliki 2 anak.
Warga asli Kabupaten Pangandaran ini nekad menjadi PSK satu tahun lalu. Pilihan ini diambil demi bertahan hidup menutupi kebutuhan ekonomi dan masa depan kedua anaknya. Anak pertama Melati berusia 13 tahun dan yang ke 2 berusia 9 tahun.
"Saya bercerai 2 tahun lalu dan memiliki 2 anak semuanya perempuan dan dititipkan di orang tua saya di kampung halaman," kata Melati, Jumat (29/3/2024).
Orang tua Melati dan 2 anaknya sendiri tidak mengetahui profesi Melati sebagai PSK di Pangandaran. "Orang tua saya dan ke 2 anak saya tahunya saya kerja menjadi pelayan toko di Pangandaran," tambahnya.
Penghasilan Melati melayani nafsu pria hidung belang dan menjual fisiknya, dikirim rutin setiap satu pekan sekali untuk kebutuhan keluarga dan anaknya. "Kadang sekali kirim transfer uang dalam satu minggu Rp300 ribu atau Rp500 ribu," jelas Melati.
Melati sendiri mengaku tak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi PSK, bahkan tidak pernah mengerti profesi kehidupan hitam itu.
Kehidupan para wanita PSK sering kali tersembunyi di balik tabu dan dipandang negatif masyarakat. Padahal realitas kehidupan mereka merupakan jawaban dan tantangan yang mesti diperjuangkan.
Di bawah kemilau lampu hias di lokasi prostitusi, para wanita ini menjalani kehidupan yang penuh dengan tekanan dan risiko. Mereka berjuang untuk bertahan hidup, menghadapi stigma sosial, kekerasan fisik dan seksual serta ancaman hukum.
Faktor pendorong wanita untuk memasuki industri seksual di antaranya terjebak dalam lingkaran kemiskinan atau eksploitasi. Namun ada juga yang memilih sebagai profesi cara untuk menghidupi diri sendiri atau keluarga mereka.
Meski demikian, kehidupan sehari-hari mereka tidaklah selalu suram, banyak di antara mereka memiliki harapan dan impian yang sama seperti orang lain.
Beberapa mungkin bermimpi untuk meninggalkan industri seksual dan memulai hidup baru, sementara yang lain mungkin berusaha untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak mereka.
"Kami juga punya harapan dan cita-cita memiliki usaha sendiri, memberikan pendidikan yang layak pada anak," kata Melati sambil meneteskan air mata dan suara rendah.
Nampak kedua mata Melati berkaca terlihat menahan sedih dan kecewa atas nasib yang menimpanya. Sambil menghela nafas panjang, ia melanjutkan penggalan kata-kata yang berusaha dia untai menjadi kalimat.
"Saya dan kami para wanita PSK yang saat ini terjebak dalam dunia hitam lebih bermartabat dibanding wanita karir tetapi munafik yang berlindung di balik kehormatan sosial atau jabatan dan melayani pria bukan haknya," sambung Melati.
Entah apa maksud dari lontaran kalimat yang diucapkan Melati waktu itu, sehingga perlu dipertegas dengan menanyakan maksud kalimat yang dia ucapkan.
"Banyak perempuan di luar sana yang bisa diajak selingkuh atau melakukan seksual bebas bukan dengan suaminya, mereka kebanyakan bertopeng karir atau usaha, tapi buktinya sama juga berperilaku seperti hewan," pungkas Melati, salah satu dari sekian banyak PSK di Kabupaten Pangandaran. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |