Yang "Tak Pernah" Hilang, Film Perjuangan Herman dan Bimo Aktivis Revormasi yang Hilang Diculik

TIMESINDONESIA, MALANG – Gedung Universitas Katolik Widya Karya (UKWK) Malang menjadi saksi bisu pemutaran film berjudul" Yang (Tak Pernah) Hilang". Film berdurasi 2 jam ini menceritakan kisah Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah, dua mahasiswa berani dari FISIP Universitas Airlangga, yang menjadi korban penculikan karena menyuarakan keadilan pada era reformasi 1998.
Adegan dibuka dengan bangunan rumah di Kedung Tarukan 2 nomor 22, tempat Herman dan Bima membangun gerakan mereka. Dengan semangat yang berkobar, mereka memimpin rekan-rekan sejawat mereka dalam perjuangan yang penuh risiko. Meskipun terbayang ancaman dan bahaya, mereka tidak pernah mundur.
Advertisement
"Demi mahasiswa, demi rakyat, demi buruh!" teriak para aktivis dalam adegan yang menciptakan getaran solidaritas yang mengguncang hati penonton.
Di antara momen-momen dramatis itu, kesaksian keluarga dan teman-teman Herman dan Bima memperkuat ke dalaman kisah ini. Dari kepedulian yang tulus hingga keputusasaan yang melanda, setiap momen menandai jejak perjuangan yang tak terlupakan.
Film yang menggugah ini merupakan karya mendiang Hari Nugroho, dengan dukungan produser Dandik Katjasungkana, seorang senior di FISIP Universitas Airlangga Surabaya yang pernah menjadi rekan Bima. Melalui detil yang cermat, film ini mengabadikan semangat perjuangan mereka yang hilang dalam arus waktu.
Herman, putra Pangkalpinang, Bangka Belitung, digambarkan sebagai sosok cerdas dengan hati yang penuh kepedulian. Harina, kakak Herman, berbicara tentang mendiang adiknya dengan latar rumah orang tuanya yang sudah tidak dihuni lagi. Ada pula kamar Herman semasa kecil.
"Adik saya bungsu dari 5 bersaudara. Keempat kakaknya semua perempuan. Jadi ia sebenarnya anak laki-laki yang ditunggu-tunggu," ujarnya
Sedangkan keluarga Bima, hanya tinggal Dionysius Utomo Raharjo, ayahnya, serta Enggar Anastasia, kakak, dan Arie Priambodo, adiknya., menunjukkan ketegasan dan keberanian yang menginspirasi.
"Memang dulu Bima sempat pamitan pada saya dan ibunya. Bahwa ia akan menjadi aktivis. Menentang Orde Baru. Ibunya menentang. Saya, selama itu menjadi pilihannya dan sudah dipikirkan matang-matang, maka saya izinkan," kenangnya.
Bima, seorang pemberani di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dikenal sebagai penyimpan informasi rahasia gerakan. Diutus ke Jakarta untuk menyatukan kekuatan dengan para pejuang dari seluruh negeri, namun nasibnya menjadi misteri saat ia menghilang pada 12 Maret 1998 setelah dipenjara karena memasang pamflet perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Herman, yang bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, juga terjerat dalam pusaran perlawanan. Ditarik ke dalam penjara karena keteguhannya, ia berusaha mempertahankan idealismenya.
Budi Harjanto, seorang mantan aktivis Pro-Mega, membagikan momen terakhirnya dengan Bima di rumahnya di Surabaya. Dalam kenangan itu, Bima terlihat lusuh dan kumal, tetapi semangatnya tak tergoyahkan. Itulah gambaran seorang pejuang yang tak kenal lelah.
"Ambil baju dan celana yang pas. Herman menurut. Ia mengenakan baju saya, kemudian pergi lagi. Melanjutkan perjuangan. Setelah itu ia tak pernah kembali," ungkap Budi.
Dionysius, ayah Bima, telah merelakan kepergian putranya sebagai bagian dari risiko yang harus dihadapi seorang aktivis. Baginya, Bima telah bergabung dengan Tuhan dan ibunya yang sudah tiada di surga.
Sementara itu, Harina, kakak Herman, mengungkapkan rindu yang tak terkira terhadap adiknya yang hilang. Entah apakah masih hidup atau telah meninggal, yang mereka inginkan hanyalah kepastian.
"Hanya saja jika memang meninggal dunia, tolong tunjukkan di mana makamnya. Kalau masih hidup, tunjukkan keberadaannya. Kami hanya ingin memeluknya dengan hangat. Dengan rindu," ujarnya.
Parau Paskalis Sitanggang, S.H., M.Hum, Dosen FH UKWK yang hadir dalam pemutaran film tersebut, menegaskan bahwa penculikan dan penghilangan aktivis merupakan kejahatan yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Di awal sebelum pemutaran film dokumenter ini, Dandik, produser film, menegaskan bahwa pemutaran film ini adalah sebagai sejarah dan memorilisasi kejadian pada tahun 1998.
"Menurut kami Herman dan Bimo ini adalah teman kami dan tetap sejarah, untuk bikin semacam memorilisasi buat mereka berdua" ujarnya
Semua yang hadir berharap bahwa pemerintah akan menyelesaikan peristiwa '98 dengan tuntas, sebagai upaya menegakkan keadilan dan menghormati hak asasi manusia.
Kisah mereka bukan hanya tentang perjuangan, tetapi juga tentang kehilangan yang menyayat hati. Orang tua mereka meninggal tanpa mengetahui nasib anak-anak mereka, meninggalkan tanda tanya yang menggantung di udara.
Dalam setiap adegan, film ini membangkitkan semangat perjuangan dan keinginan untuk keadilan yang tidak akan pernah padam. Hermawan dan Bima mungkin telah menghilang dari pandangan, tetapi kesan mereka tetap hidup dalam ingatan kita, inilah alasan film ini di beri judul Yang (Tak Pernah) Hilang.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |