Peristiwa Daerah

Siswi SMP Bunuh Diri Diduga karena Hamil, Ning Lia Singgung UU Perlindungan Anak

Sabtu, 18 Mei 2024 - 09:38 | 45.90k
Dr.Lia Istifhama, DPD RI Terpilih Periode 2024-2029
Dr.Lia Istifhama, DPD RI Terpilih Periode 2024-2029
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Lagi-lagi publik dikejutkan atas kejadian bunuh diri di kalangan remaja. Kali ini peristiwa pilu menimpa seorang siswi di Wonogiri yang tewas usai mengakhiri hidupnya dengan cara menjerat lehernya menggunakan selendang yang diikatkan ke jendela kamarnya. Diduga, SV (15 tahun) siswi tersebut, bunuh diri lantaran tidak kuat menahan tekanan batin karena hamil.

Salah satu siswi SMP di Kecamatan Girimarto tersebut ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa setelah pihak sekolah menghubungi orang tua gadis tersebut. Saat itu sang ayah yang sedang merantau di luar Wonogiri mendapatkan kabar bahwa SV belum datang ke sekolah hingga hampir pukul 08.00 WIB. Hingga dihubunginya salah satu kerabatnya (saksi) untuk membangunkan putrinya tersebut. 

Advertisement

Namun, fakta tragis yang kemudian muncul, dimana setelah saksi mengetuk pintu kamar SV tidak ada jawaban sama sekali, maka saksi memutuskan untuk mendobrak kamar SV dan melihat SV yang sudah tergantung tak bergerak dengan leher terjerat oleh selendang yang diikatkan pada jendela kamarnya. Saksi kemudian berteriak dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak kepolisian. Setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa ternyata korban dalam kondisi hamil besar.

Kejadian memilukan tersebut pun memantik respon banyak pihak, tak terkecuali anggota DPD RI terpilih asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama. Secara tegas, ia mengungkapkan keprihatinan maraknya kasus perempuan dihamili secara tidak bertanggung jawab, bahkan tak sedikit yang ternyata korban perkosaan.

“Kasus bunuh diri tersebut menjadi pengingat kita semua bahwa kasus serupa sangat banyak terjadi di tengah masyarakat. Perempuan diperkosa atau dihamili, adalah pemberitaan yang umum terjadi. Bahkan tak sedikit yang menimpa anak di bawah umur. Ini tentu keprihatinan dan harus menjadi atensi kita bersama,” jelasnya.

Senator peraih suara tertinggi perempuan non petahana senasional tersebut juga menyebut kasus siswi SMP yang dihamili gurunya di Mojokerto.

"Di Jatim, tepatnya di Mojoanyar Mojokerto, juga ada kasus memilukan, yang mana seorang siswi SMP dihamili salah seorang oknum guru ekstrakulikuler olahraga di SMKN 1 Mojoanyar. Siswi yang sekarang berusia 15 tahun tersebut sudah melahirkan bayi perempuan. Sedangkan AG oknum guru dan juga sebagai profesi security, masih berkeliaran bebas, sekalipun saat ini kasus tersebut ditangani Polres Mojokerto.”

Ditambahkan olehnya, korban pemerkosaan atau dihamili tanpa tanggung jawab, juga banyak berujung pada bunuh diri.

“Kalau kita mengerucut kembali pada kasus bunuh diri akibat tekanan batin diperkosa, dicabuli, dilecehkan, atau dihamili, itu sangat banyak. Di Pacitan misalnya, mahasiswi tengah hamil 7 bulan memilih bunuh diri dengan menenggak racun tikus.”

Menurutnya, kasus serupa yang marak terjadi, harus menempatkan mana korban dan pelaku.

“Menyikapi semua peristiwa atau kasus tersebut, masyarakat tidak boleh menyudutkan perempuan yang mana dalam hal ini adalah korban. Sepenuhnya kita semua harus memposisikan laki-laki yang menghamili atau melakukan tindakan asusila adalah pelaku. Jadi stop menyebut istilah suka sama suka atau menyalahkan perempuan karena kurang bisa menjaga diri dan sebagainya.”

“Dengan menempatkan perempuan, apalagi dibawah umur sebagai korban, maka setidaknya mereka mendapatkan support atau dukungan penguatan mental di tengah trauma dan segala problem psikis yang mereka alami. Hamil tanpa hubungan pernikahan, tentu beban yang sangat besar bagi seorang calon ibu. Mereka bukan hanya tertekan memikirkan masa depan dirinya sendiri, tapi juga anak yang kelak dilahirkannya. Belum lagi beban eksternal yang mana mereka memikirkan stigma masyarakat terhadapnya dan keluarganya.”

Ning Lia, sapaan akrab aktivis yang pernah menulis buku tentang resiliensi korban pelecehan seksual tersebut, kemudian menyinggung penegakan UU Perlindungan Anak.

“Atas dasar suka sama suka” tidak dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk menghindar dari jeratan hukum. Pelaku yang melakukan persetubuhan atau percabulan terhadap anak, tetap akan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan perubahannya. Jika anak ini telah berumur di atas 18 tahun, ia tetap dapat menuntut lelaki tersebut di kemudian hari, karena kewenangan menuntut pidana belum hapus karena daluwarsa.”

Sebagai informasi lengkap, berikut UU Perlindungan Anak yang penting kita simak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang tidak mengenal istilah suka sama suka untuk persetubuhan dan pencabulan terhadap anak. Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, posisi anak tetap sebagai korban walaupun anak yang minta berhubungan badan atau dicabuli oleh orang lain.

Mengenai persetubuhan dengan anak serta perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 76D dan 76E UU 35/2014 sebagai berikut:

Pasal 76D UU 35/2014:

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76E UU 35/2014:

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Sanksi dari tindak pidana tersebut dapat dilihat dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Perpu 1/2016:

Pasal 81 Perpu 1/2016:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

5. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

6. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

7. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

8. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

9. Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

Pasal 82 Perpu 1/2016:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

4. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

5. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

6. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

7. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

8. Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES