Pecinta Kretek di Yogyakarta Kampanye Tolak Hari Tanpa Tembakau Sedunia

TIMESINDONESIA, SLEMAN – Isu kretek terus mencuat di kalangan masyarakat. Kali ini, di Yogyakarta Komunitas Kretek bersama Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) berkumpul membahas kretek konsep acara Tribute to Kretek bertajuk Berterimakasihlah Pada Segala yang Memberi Kehidupan. Kegiatan yang dipusatkan di Kancane Coffee & Tea Bar, Sleman bagian dari gerakan melawan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS).
Dalam momentum tersebut, Tribute to Kretek 2024 menghadirkan band legendaris asal Surabaya, Silampukau, dan musisi veteran yang memiliki concern terhadap kelestarian kretek, Jibal Windiaz.
Advertisement
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek, Moddie Alvianto Wicaksono menuturkan, setiap narasi yang dibawa pada peringatan HTTS hanyalah dalih untuk mematikan industri hasil tembakau.
“Banyak narasi yang sudah dikeluarkan oleh antirokok, dari sekian banyak narasi itu tujuannya adalah menerapkan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) agar mereka dapat dengan leluasa menghimpit industri hasil tembakau,” terang Moddie dalam siaran pers, Sabtu (1/6/2024).
Menurut Moddie, hingga saat ini memang Indonesia menjadi salah satu dari beberapa negara di dunia yang belum meratifikasi FCTC. Namun Indonesia memiliki banyak sekali regulasi untuk menghimpit ruang gerak industri hasil, misalnya PP 109 Tahun 2012, kebijakan cukai dan pajak rokok yang eksesif, dan lain sebagainya.
Indonesia, lanjut Moddie, tidak seharusnya merayakan hari tanpa tembakau sedunia. Mengingat, Indonesia adalah negara yang memiliki kepentingan besar pada kehadiran tembakau.
Puluhan juta orang hidup dan bergantung dari tanaman ini, dan masyarakat kita telah hidup berdampingan dengan tembakau selama ratusan tahun.
Bagi Moddie, HTTS hanyalah satu dari banyak cara antirokok yang terlembaga untuk mematikan industri hasil tembakau. Jika industri hasil tembakau tumbang, maka kesejahteraan petani tembakau dan buruh rokok yang akan dipertaruhkan, lebih jauh adalah pemasukan besar negara dari sektor cukai dan pajak.
“Jika para pemangku kebijakan itu mau turun ke ladang-ladang tembakau, mau menjenguk dan berinteraksi secara intensif dengan buruh-buruh pabrik rokok, mereka akan tahu jika industri hasil tembakau yang sering mereka regulasi dengan eksesif tersebut adalah berkah nyata bagi petani dan buruh. Petani itu orang yang organik, mereka tidak perlu disuruh untuk tidak menanam tembakau, asalkan ada tanaman lain yang punya serapan dan nilai jual tinggi, mereka pun akan dengan suka rela beralih,” terang Moddie.
Senada dengan Moddie, Juru Bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifuddin juga mengungkapkan hal serupa. Menurut Atfi, sapaan akrabnya, HTTS adalah salah satu tanda jika WHO sebagai organisasi kesehatan dunia hanya disibukkan dengan urusan tembakau dan asap rokok.
“Antirokok menyimpulkan segala penyakit pasti ada sebab rokok di dalamnya. Sehingga rokok menjadi konsentrasi WHO agar organisasi kesehatan nir aktivitas ini terlihat bekerja menjamin kesehatan bangsa-bangsa dunia. Alih-alih peduli pada kebutuhan jaminan kesehatan yang tepat bagi bangsa-bangsa, mereka malah seperti marketing perusahaan farmasi yang ngebet ingin menjadi penguasa tunggal pasar nikotin dunia,” terang Atfi.
Terkait regulasi pertembakauan, Atfi menilai Indonesia telah memiliki segala perangkat untuk perlahan mendorong industri hasil tembakau mendekati liang lahat. Namun pada prakteknya, pemangku kebijakanlah yang menjadi mafia yang bekerja di ruang gelap aturan-aturan yang telah mereka terbitkan.
“Kurun 2022 hingga 2023, kita disajikan fakta bahwa banyak pejabat dan pemangku kebijakan yang menjadi backing rokok ilegal. Sehingga sebagai rakyat kecil wajar jika kita menduga kenaikan cukai dan harga rokok yang tinggi adalah salah satu rangkaian kejahatan," jelas Atfi.
Menurutnya, rokok sengaja dibuat mahal, supaya rokok ilegal menjadi opsi prestisius bagi perokok. Dan lagi-lagi yang menjadi korbannya adalah rakyat, buruh rokok legal dan petani tembakau karena tembakaunya tidak terserap baik
Aktivis kelahiran Temanggung ini menuturkan, semestinya perokok di Indonesia menolak HTTS.
“Perokok harus sadar, bahwa apa yang mereka isap hasil dari keringat petani merawat tembakau dan cengkeh, juga keringat para buruh rokok yang memadukan keduanya menjadi sebuah cita rasa khas, cita rasa Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, Peneliti Kretek dan Sosiolog UGM, AB Widyanta mengatakan, fakta menunjukan bahwa kretek membawa peradaban bangsa sampai saat ini. AB menyebut ada banyak data yang dapat menunjukan kontribusi kretek untuk bangsa ini.
"Kalau ada yang menyebut bahwa kretek ini mengakibatkan kesengsaraan, tunjukan di mana kesengsaraan itu. Artinya, bahwa kalau ada narasi seperti itu kita perlu menchalange, kita punya data, kita punya bukti nyata, dan itu perlu kita adu argumenkan," imbuhnya.
Dengan demikian, lanjut AB, kretek adalah bagian dari peradaban yang perlu dirayakan, dengan seluruh pemikiran-pemikiran yang menyertainya serta seluruh praktek-praktek kebudayaan yang tersebar di seluruh negeri ini. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |