Kirab Budaya Polowijen Berjalan Meriah Walau Tanpa Kehadiran Ken Dedes

TIMESINDONESIA, MALANG – Sosok "Ken Dedes" banyak dicari bahkan saat Kirab Budaya dan Karnaval Polowijen yang digelar, Minggu (28/7/2024) pagi.
Kirab Budaya dan Karnaval digelar dalam rangka metren atau metri atau bersih desa di Kelurahan Polowijen, Kota Malang yang tahun ini temanya "Maju Bersama Budaya Polowijen".
Advertisement
Sayangnya dalam Kirab Budaya dan Karnaval pagi tadi, sosok "Ken Dedes" itu tidak terlihat diantara 50 peserta karnaval itu. "Ken Dedes" nya hilang," celetuk ibu Sukarti, salah seorang penonton rutin Kirab Budaya Polowijen.
Tahun kemarin, penampilan "Ken Dedes" hampir mewarna setiap peserta karnaval. Suasananya semarak, karena dilombakan.
Tapi tahun ini tidak dilombakan, namun setiap peserta langsung diberi piagam penghargaan begitu sampai finish.
Tahun lalu, gadis-gadis "cantik" yang disulap bak Ken Dedes, bermunculan di sepanjang hampir 1,5 km, rute karnaval di Polowijen , namun tahun ini dari peserta RW 01 hingga RW 10, tidak tampak.
Untuk alasan itu, pihak LPMK menyatakan karena persiapannya yang mendadak. "Tapi pelaksanaan karnavalnya tetap meriah," kata Sukarti.
Selamatan acara Petren dan Nyekar di Punden merupakan upacara ritual tradisi yang selalu dilakukan sebagai awal pembuka acara Bersih Desa Polowijen
"Hanya ada waktu dua bulan saat diputuskan ada kirab budaya dan karnaval tahun ini. Sayangnya tahun ini bersamaan dengan anak-anak masuk tahun ajaran baru, jadi konsentrasi para orang tentu beralih ke pendidikan anak-anak," ujar Muntahar, salah seorang anggota LPMK Kelurahan Polowijen kepada TIMES Indonesia.
Akad pelaksanaan Kirab Budaya dan Karnaval Polowijen yang sudah disepakati sebenarnya dua tahun sekali.
Meski demikian Lurah Polowijen, Qurota Purbowardana mengaku bangga karena partisipasi warga Kelurahan Polowijen yang tidak kendur. "Tanpa semangat partisipasi bapak ibu semua, niscaya Kirab Budaya Polowijen ini tidak akan berjalan dengan lancar," katanya.
Lurah Polowijen, Qurota Purbowardana saat melepas peserta Kirab Budaya dan Karnaval Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. (FOTO: Widodo Irianto/TIMES Indonesia).
Qurota Purbowardana dalam sambutannya menjelang pemberangkatan peserta karnaval juga sama sekali tidak menyinggung soal tema Ken Dedes.
Ia menyatakan berterimakasih kepada seluruh peserta kirab dan karnaval.
Anggota DPRD Kota Malang. H.Eddy Widjanarko S.AP yang juga hadir dalam acara pemberangkatan Kirab Budaya dan Karnaval Polowijen itu ketika ditanya soal hilangnya "Ken Dedes" tahun ini juga mengakuinya. "InsyaAllah tahun berikutnya kami bangkitkan lagi. Karena kami menyadari disitulah ruhnya Polowijen," kata Eddy.
Metren atau metri atau bersih desa memang menjadi tradisi yang mengakar di Indonesia dan diselenggarakan setahun sekali setiap tanggal 1 Sura atau 1 Muharam.
Bagi Kelurahan atau desa Polowijen seharusnya acara ini lebih istimewa karena di sini diyakini tempat kelahiran Ken Dedes, ibu yang melahirkan raja-raja terkenal di tanah Jawa mulai Kerajaan Singasari hingga Kerajaan Majapahit.
Memang tidak banyak literatur yang membuat rincian secara detail mengenai masa kecil Ken Dedes.
Namun Ken Dedes adalah sosok yang paling berjasa melahirkan keturunan yang pada akhirnya terkenal bisa memimpin salah satu kerajaan terbesar di nusantara yakni Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit.
Ken Dedes adalah permaisuri dari Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari di Malang, Jawa Timur.
Hal itulah yang kemudian membuat Ken Dedes menjadi ratu pertama Kerajaan Singasari dengan sebutan Dyah Ayu Sri Maharatu Mahadewi.
Sebelumnya Ken Dedes juga pernah menjadi istri Tunggul Ametung.
Ia kemudian dikenal sebagai leluhur Wangsa Rajasa, trah raja yang berkuasa di Pulau Jawa, dari Kerajaan Singasari hingga Majapahit.
Konon, Ken Dedes digambarkan sebagai seorang wanita yang sangat cantik bak bidadari dan dikenal sebagai wanita terpandang karena berasal dari kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam agama Hindu.
Karena kecantikannya, suami pertama Ken Dedes yang bernama Tunggul Ametung, dibunuh oleh Ken Arok.
Dikisahkan bahwa Ken Dedes lahir di Desa Panawijil atau Polowijen atau Panawijen. Ia adalah putri dari seorang Brahmana atau pendeta bernama Mpu Purwa.
Berdasarkan cerita yang ada, sejak kecil, sang ayah sudah mengajari Ken Dedes untuk membenci siapa pun yang tidak patuh kepada Dewa Siwa (dewa trimurti dalam agama Hindu).
Dari sang ayah, Ken Dedes menyadari bahwa Tunggul Ametung merupakan seorang yang jahat karena dianggap kerap melecehkan Dewa Siwa.
Orang yang menghargai Dewa Siwa akan bersikap tahu diri, waspada, dan tidak berat menghukum diri sendiri jika melakukan kesalahan.
Sebaliknya, orang yang tidak menghormati Dewa Siwa akan bersikap sombong dan suka berbuat kejahatan, seperti yang dilakukan Tunggul Ametung.
Kendati begitu, pada akhirnya, Ken Dedes sempat menjadi istri Tunggul Ametung sebelum akhirnya Ken Arok membunuhnya.
Ketika menjadi istri Tunggul Ametung, Ken Dedes mempunyai seorang anak bernama Anusapati.
Saat menjadi istri Ken Arok, Ken Dedes mempunyai empat orang anak yakni, Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu.
Setelah menguasai Tumapel usai matinya Tunggul Ametung serta menikahi Ken Dedes, Ken Arok memakai gelar Sri Rajasa Bathara Sang Amurwabhumi. Sedangkan Ken Arok sebagai permaisuri menyandang gelar Dyah Ayu Sri Maharatu Mahadewi. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |