Praktisi Hukum Prof Henry Indraguna: Revisi Undang-undang Pilkada Oleh DPR Terlalu Cepat
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Revisi Undang-undang (UU) Pilkada oleh DPR dan pengabaian keputusan Mahkamah Konstitusi yang menjadikan gelombang protes di berbagai daerah.
Tak hanya mahasiswa dan berbagai kelompok massa, selebritis dan tokoh publik figure juga ikut menyuarakan keprihatinan mengenai rencana revisi UU Pilkada.
Advertisement
Praktisi Hukum Prof Henry Indraguna berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) harusnya ditaati dan dilaksanakan oleh pembuat Undang-undang baik legislatif maupun eksekutif.
"UU Pilkada hasil revisi yang tidak berpedoman pada putusan MK berpotensi menimbulkan masalah baru dan bisa jadi kembali digugat melalui uji materi. Apabila DPR nekad dan tetap tidak mengindahkan suara rakyat yang semestinya mereka perjuangkan, bisa jadi nantinya anggota DPR yang selama ini dikenal terhormat dan dihormati justru hilang kehormatannya di mata rakyat," ujar Prof Henry Indraguna di sela-sela dirinya mendapatkan penghargaan sebagai Tokoh Inspiratif Jawa Tengah di Bidang Hukum di Wisma Perdamaian, Semarang, Jumat (23/8/2024).
Menurutnya, DPR seharusnya tidak perlu menafsirkan apa yang sudah cukup jelas diatur oleh putusan MK. Kalau DPR mengatur yang berbeda itu, artinya cukup jelas sebagai sebuah potensi pelanggaran konstitusi.
Dia menyarankan regulasi pilkada yang diatur di dalam UU Pilkada hanya perlu dibenahi dan disesuaikan dengan Putusan MK tersebut. Bukan dibuat berbeda dengan Putusan MK tersebut. Sebab dari putusan MK tersebut saja telah dapat memastikan tersedianya calon yang beragam.
"Kalau calonnya beragam, maka pilihan-pilihan pemimpin daerah itu lebih mungkin untuk dapat diseleksi yang paling baik oleh masyarakat," terangnya.
Dalam putusannya, MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen dari perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.
Selain itu MK memutuskan, threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah dari jalur independen atau perseoranga atau nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada dan memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur.
Namun sayangnya DPR lantas merevisi UU Pilkada pada Rabu (20/8/24) setelah MK memutus judicial review atas UU Pilkada yang menurut informasi revisi UU Pilkada tersebut dilakukan sangat cepat dan singkat waktunya oleh Baleg DPR RI. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sholihin Nur |