Kontroversi Alat Kontrasepsi untuk Pelajar, Ini Penjelasan Ketua Lembaga Kesehatan PBNU
TIMESINDONESIA, JOMBANG – Ketua Lembaga Kesehatan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LK PBNU) KH. M. Zulfikar As’ad menyebutkan bahwa tidak ada pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang menyebutkan disediakan alat kontrasepsi untuk pelajar.
Sebagai Ketua Lembaga Kesehatan PBNU, dalam kurun sekian waktu ini mencoba untuk mengikuti secara detail permasalahan yang muncul dan berusaha menyikapi, karena memang banyak juga pihak-pihak yang ingin tahu bagaimana tanggapan dari PBNU khususnya dalam bidang kesehatan.
Advertisement
Pria yang akrab disapa Gus Ufik berusaha mendapatkan secara utuh PP tersebut. Pihaknya juga sudah membaca dan mencermati kalimat per kalimat serta kata per kata dari isi dari PP tersebut, ternyata tidak menemukan kata pada pasal atau ayat, serta poin mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja, lebih-lebih kepada para pelajar.
“Apalagi sampai terkesan, seolah-olah benda pencegah kehamilan itu nantinya disediakan oleh sekolah sebagai pengejawantahan dari perintah peraturan tersebut,” katanya kepada TIMES Indonesia, Kamis (29/8/2024).
Menurutnya, dalam perdebatan sengit itu terjadi karena adanya suatu pemicu potongan informasi yang tersampaikan kepada masyarakat, hanya mengenai Pasal 103, Ayat 4, poin e dari PP 28/2024, terkait kata "Penyediaan alat kontrasepsi", dalam satu pasal, yaitu pasal 103, yang diawali dengan ayat 1, tentang upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja, sehingga kemudian menimbulkan kesan bahwa alat kontrasepsi itu nyata-nyata disediakan untuk anak usia sekolah atau remaja di sekolah.
Padahal, terdapat penjelasan berikutnya dari poin itu dan cukup jelas pada Pasal 104, ayat 3, poin e bahwa penyediaan alat kontrasepsi itu diberikan bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko dan tidak disebutkan sama sekali bahwa hal itu disediakan untuk siswa, apalagi di sekolah.
“Saya berpendapat bahwa kata kunci dari penjelasan di poin e, ayat 3, Pasal 104 itu adalah kata pasangan,” ucapnya.
Tentu akan sangat berbeda apabila kata pasangan (spouse) itu sudah langsung diartikan sebagai suami istri, dengan penekanan bagi kelompok yang berisiko. Artinya, penyediaan alat kontrasepsi itu disiapkan bagi pasangan (suami istri) yang jika hamil memiliki risiko.
Hal ini pula yang juga sering disampaikan Kepala BKKBN Dr Hasto Wardoyo memaknai kata "pasangan" yang dimaksud adalah suami-istri dalam berbagai pertemuan. Belum lagi apabila edukasi tentang hal ini dilakukan oleh seorang Kyai/ulama/ustadz dan disampaikan untuk masyarakat maupun santri di Madrasah/Pesantren dll.
Disebutkan juga bahwa tujuan dari penyediaan alat kontrasepsi itu adalah membantu pasangan suami istri usia subur dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk hamil, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak, serta kondisi kesehatannya.
Di pasal 103 , ayat 1 disebutkan bahwa upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja itu, paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Di ayat 2 terdapat poin penekanan pada masalah penjagaan moralitas, yakni pemberian informasi, komunikasi dan edukasi tentang itu, di poin e disebutkan mengenai (usia sekolah dan remaja) untuk melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual.
“Saya sependapat dengan Wakil Ketua Komisi Hukum dan HAM MUI Neng Djubaedah dalam satu komennya di sebuah media, bahwa PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan yang mengatakan pasti akan menimbulkan persepsi yang salah apabila tidak ada penjelasan soal PP tersebut,” terangnya.
Terlebih terkait penyediaan alat kontrasepsi sebagaimana perdebatan yang muncul saat ini, karensa hal tersebut akan sangat mudah menjadi isu di tengah masyarakat. Menurutnya, bila hal tersebut dibaca secara detail sebenarnya tidak hanya pada pasal penyediaan alat kontrasepsi yang dapat menimbulkan banyak konroversi, secara keseluruhan pada PP 28 tahun 2024 tersebut juga akan menimbulkan hal yang sama jika tidak diberikan penjelasan yang baik dan tidak multi tafsir.
“Hanya saja saat ini yang betul-betul heboh adalah masyarakat banyak yang terfokus pada penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja,” tutur Rektor Unipdu ini.
Memperhatikan perdebatan yang muncul di media sosial sebagaimana dilihat saat ini, bahwa pemicunya adalah budaya reaktif dan kurangnya budaya literasi yang kuat di masyarakat dan ini sepertinya yang perlu dan harus digelorakan, sehingga masyarakat tidak dengan mudah selalu terjebak dalam debat yang sejenis yang justru membingungkan, bahkan meresahkan masyarakat, karena masyarakat tidak betul-betul paham substansi dari persoalan yang dibahas.
Gus Ufik mengajak masyarakat senantiasa membudayakan pemanfaatan internet dan medsos dengan lebih baik, karena sekarang ini semua informasi dengan mudah dapat diakses.
Jika tema yang diperbincangkan itu terkait regulasi, tinggal mengetik kata kunci dengan nomor dan tahun dari peraturan atau undang-undang tersebut, maka mesin pencari akan menyediakan banyak pilihan untuk kita buka dan baca, lalu dicermati.
“Semoga kita senantiasa menjadi masyarakat yang mampu menghadapi permasalahan dengan baik serta kita diberikan pemimpin-pemimpin yang bijak yang senantiasa memperhatikan masukan, saran dari para pecinta yang senantiasa setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,” harap Gus Ufik. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |