Pendiri NIMCA Museum Yogyakarta, Dalami Sastra Jendro dan Kumpulkan Ribuan Artefak Kuno

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Pendiri NIMCA Museum Yogyakarta, Noor Ibrahim mengukuhkan asa pelestarian artefak dan seni rupa dalam menjaga pertalian peradaban Nusantara.
Bukan tanpa alasan, sebab Noor Ibrahim tumbuh besar di lingkungan keluarga pecinta seni sekaligus didikan militer yang lekat dengan jiwa korsa kepada tanah air tercinta.
Advertisement
Kakeknya dari ibu seorang dalang. Sementara kakek dari bapaknya seorang instruktur Akademi Militer Nasional (AMN-sebutan lama) di Panca Arga Magelang
"Aku besar di keluarga yang sangat disiplin dan keluarga yang bercerita tentang pengetahuan Jawa," kata Ibrahim di sela pameran 1st Annual Art & Artifact Exhibition The Secret of Archipelago, Resto Nine Surabaya, Selasa (1/10/2024).
Dari sisi spiritual, Noor muda dibekali inti sari pengetahuan tentang kitab-kitab luhur Jawa yang ia dengar sejak kecil. Noor Ibrahim menyebutnya Java Knowledge. Tradisi yang turun temurun dilestarikan oleh keluarganya.
"Pengetahuan Jawa ini kitabnya dinamakan Sastra Jendro Hayuningrat Pangruwating Diyu. Itu nama kitab Jawa dan kitab itu orang-orang di Jawa Timur menyebut Kitab Adam Makna," ujarnya.
Kitab Sastra Jendro adalah kitab yang berada pada tubuh manusia. Sama seperti penyebutan Adam Makna. Asal mula penciptaan manusia. Kitab tanpa tulis tanpa papan, hanya bisa dipahami oleh kemurnian nurani.
"Ada pula yang menyebutnya kitab tulis tanpo papan. Ada tulisannya tetapi tidak ada tempatnya karena tempatnya di dalam tubuh," tambah Noor Ibrahim.
Ketika orang melakukan pengendapan dengan semedi atau bertafakur dengan makna lain berdiam diri mematikan hidup selagi hidup, kata Noor Ibrahim, orang tersebut akan memasuki lubuk hati terdalam. Maka nampaklah isi kitab itu yang berupa deretan petuah kehidupan.
"Ini tradisi tua yang sudah dilupakan orang, ketika sistem pengajaran dari barat masuk ke negeri kita. Dan Sastra Jendro adalah ilmu pengetahuan, bukan agama. Para leluhur Tanah Jawa berbicara bahwa kitab ini tentang kejadian anak manusia," jelasnya.
Noor Ibrahim bukan hanya besar dengan tradisi Jawa kuno dan mempedomani Kitab Sastra Jendro dalam mengarungi kehidupan modern.
Tetapi keluarganya juga gemar mengoleksi artefak antik. Jumlahnya ribuan. Sebuah benang merah mengalir menyatu tanpa disadari. Kewibawaan dan keluhuran pembentukan peradaban Nusantara.
Bahkan, semasa kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan seni murni, pematung ini berpikir keras bagaimana cara menyimpan artefak dan karya-karyanya dalam sebuah museum pribadi.
Sebab pria yang bercita-cita menjadi seniman sejak kelas 4 sekolah dasar itu tiada henti mempertanyakan muara seluruh karya seni.
"Sejak itu saya ingin membangun museum," kisahnya.
Ia bertekad membangun museum yang akan mengabadikan seluruh karyanya. Sebagaimana seluruh karya seni masa lalu terangkum dalam museum saat ini di seluruh dunia sebagai benda berharga peninggalan setiap khazanah peradaban.
"Museum menurut ideal saya, harus berisi karya-karya saya, karya pribadi seni patung saya, lukisan maupun seni patung serta ukiran," ujarnya.
Sebagai pelengkap museum, ia menata artefak yang tersimpan peninggalan keluarga.
"Dulu bapak ibuku bilang, kamu harus bikin tempat yang bagus untuk menyimpan artefak. Makanya waktu satu tahun di ISI Yogyakarta saya langsung berpikir tempat yang baik adalah museum," ucapnya.
Impian itu terwujud dengan kelahiran NIMCA Museum Yogyakarta pada Juni 2022 lalu. Museum ini merupakan akronim dari Noor Ibrahim Museum Ceramic and Art. Terletak di Desa Gesik, Kalipucang, Kasongan, Bangunjiwo, Bantul Yogyakarta. Bangunan museum bernuansa alam teduh, dengan tembok batuan indah nan kokoh.
Museum ini didekasikan sebagai tempat di mana imajinasi bermekaran dan inspirasi berkembang. Selayaknya kisah perjalanan berkesenian seorang Noor Ibrahim yang telah melampaui berbagai pameran skala internasional tanpa meninggalkan wibawa negerinya.
Ia adalah seniman yang pernah menampilkan karya di Pameran La Bienalle Venezia, Italy pada 2005. Sebuah kegiatan seni rupa tertua di dunia.
Pada tahun 2017, ia diundang ke Iceland Bienalle selama dua bulan. Ia membuat patung besar di sana. Bahkan Jerman, Berlin, pernah menjadi daratan penyaksi karya yang ia buat.
Karya-karya itu merepresentasikan kearifan lokal Nusantara. Menceritakan benang merah antara seni rupa dan artefak negeri tercinta.
"Saya merasa bahwa akar budaya Nusantara itu nggak bisa saya tinggalkan," ungkap pria kelahiran Magelang, 20 Januari 1966 ini.
Bagi Orang Eropa, bisa melihat jelas identitas yang melekat pada diri Noor Ibrahim sebagai seniman Indonesia dengan ragam cerita artefak Patung Borneo, Patung Asmat hingga ribuan candi Wilwatikta Majapahit. Patung-patung kontemporer berbasis tradisi.
"Semua itu jadi konsep karya," tandasnya.
Nusantara memiliki historis yang sangat kuat. Ia merasakan dan melihat sendiri bagaimana artefak Indonesia sangat berharga di mata internasional. Seni adalah bagian terpenting dari kebudayaan.
"Yang ingin melihat Patung Asmat antre lho, yang ingin melihat Patung Hudoq Dayak Kalimantan juga antre di Rockefeller Archaeological Museum," ujarnya.
Sementara di Surabaya, NIMCA Museum Yogyakarta menampilkan artefak Hampatong, patung penjaga dari Dayak. Biasanya patung yang diperkirakan berasal dari periode abad ke-18 ini diletakkan di luar rumah atau pekarangan sebagai pelindung dari kejahatan. Kemudian mangkok bunga yang berasal dari Dinasti Song (1127-1279), Vas Octagon dari Dinasti Song (960-1127), dan porselen pembakar dari periode Qianlong (1736-1795). (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |