Peristiwa Daerah

Kawasan APL Desa Penu Taliabu Timur Jadi Rebutan Oknum Mafia Tanah, BPN Sula Minta Pemda Tegas

Selasa, 21 Januari 2025 - 12:54 | 53.16k
Kawasan kebun di Desa Penu, Taliabu Timur.  (Foto Husen Hamid/TIMES Indonesia)
Kawasan kebun di Desa Penu, Taliabu Timur. (Foto Husen Hamid/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, TALIABU – Kehadiran perusahaan di Desa Penu, Kecamatan Taliabu Timur, Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara, untuk membangun smelter bijih besi membuat kawasan Area Penggunaan Lain Desa Penu (APL Desa Penu) menjadi rebutan.

Beberapa area APL telah diklaim secara sepihak oleh oknum mafia tanah yang tidak bertanggung jawab. Beberapa oknum bahkan mengklaim kepemilikan lahan hingga ratusan hektare.

Advertisement

Kawasan hutan di Desa Penu yang belum tergarap tersebut awalnya diklaim oleh oknum mafia tanah yang nantinya akan dijual kepada perusahaan. Kegiatan tersebut membuat sejumlah warga setempat merasa resah. 

"Sebagai warga tentunya sikap dari sejumlah oknum ini membuat kami resah, apalagi mereka tidak pernah berkebun tiba-tiba punya banyak lahan. Lahan yang masih hutan, jadi kami yang punya kebun tidak bisa perluas karena tindakan mereka," ucap Hesein, salah satu warga. 

Menanggapi kondisi tersebut, Muhammad Rifai, SH, Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kepulauan Sula memberikan komentarnya. Ia mengatakan tanah yang sifatnya tidak bertambah harusnya mendapatkan kontrol yang ketat dari pemerintah daerah dan pemerintah desa.

Disisi lain, lahan yang masuk pada kawasan APL harus dikelola mempunyai peningkatan fungsi, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan atau tanaman holtikultura lainnya. 

Rifai mengajukan kepada Pemerintah Desa Penu untuk menerbitkan pengumuman resmi guna mitigasi risiko, khususnya terkait penguasaan lahan yang berlebihan dan berpotensi menimbulkan sengketa.

"Pada dasarnya tanah itu tidak bertambah, sehingga perlu adanya kontrol penguasaan kepemilikan guna pemerataan di masyarakat," ujarnya.

Ia menambahkan, seharusnya ada kontrol terhadap pembukaan lahan baru di area APL untuk peningkatan fungsi pengelolaan tanah yang berkelanjutan. Contohnya, tanah digarap untuk ditumbuhi tanaman perkebunan dan tanaman hortikultura lainnya.

"Jadi, pemerintah desa melalui kepala desa harus membuat edaran desa agar pembukaan lahan baru diketahui pemerintah desa. Ini bertujuan untuk mitigasi risiko, mulai dari penguasaan tanah yang berlebihan dan timbulnya konflik sengketa tanah," kata Rifai, Selasa (21/1/2024).

Terkait klaim kepemilikan lahan seluas 100 hektare oleh warga Desa Penu, Kepala Desa Radia Manompo telah memberikan klarifikasi bahwa informasi tersebut tidak akurat. Beliau menjelaskan bahwa sebagian besar kawasan Area Penggunaan Lain (APL) masih berstatus hutan, sehingga mustahil ada warga yang memiliki lahan hutan seluas tersebut.

"Itu tidak benar, karena lahan 100 hektare itu sangat besar. Bagaimana bisa dikuasai oleh 1 orang saja, apalagi kalau lahan tersebut masih berstatus sebagai hutan dan orang yang diduga punya lahan tidak punya sejarah berkebun," tegasnya.

Ia berharap agar masyarakat bijak dalam memahami pengelolaan kawasan APL di tengah-tengah hadirnya industri pertambangan.

"Buka lahan baru itu penting, apalagi tujuannya untuk perkebunan, saya sangatmendukung. Apalagi program presiden soal ketahanan pangan. Tetapi, kalau klaim lahan untuk nantinya dijual itu lain cerita, apalagi lahan masih berstatus hutan, belum digarap sama sekali," pungkasnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES