Gapasdap Minta Pemerintah Setarakan Perlakuan Tarif Transportasi Laut dengan Udara

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Gabungan Pengusaha Sungai, Danau dan Angkutan Penyebrangan (Gapasdap) meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) agar memperhatikan sektor angkutan penyeberangan dan angkutan laut.
Itu karena, tarif angkutan laut saat ini dinilai masih sangat murah dan merupakan tarif yang terkecil di dunia jika dibandingkan dengan moda sejenis di negara lain.
Advertisement
Kepala Bidang Usaha dan Pentarifan DPP Gapasdap, Rachmatika Ardiyanto menuturkan, kondisi tersebut tidak bisa terus dibiarkan.
Sebab, angkutan penyeberangan memiliki fungsi rangkap. Yaitu sebagai sarana angkut, dan sekaligus infrastruktur yang mengangkut berbagai alat transportrasi.
"Selain itu hal ini juga terkait dengan keselamatan transportasi sebagai pertaruhannya," tegas Rachmat, Selasa (4/3/2025).
Jika pemerintah saat ini menurunkan tarif angkutan udara, kata Rachmat, yakni dengan memotong beberapa biaya-biaya seperti pajak penjualan, pajak bahan bakar, biaya-biaya terkait dengan jasa bandara, maka, angkutan penyeberangan juga mengharapkan perhatian yang sama dari pemerintah.
Suasana penurunan penumpang kapal laut di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Saat ini, tarif yang berlaku pada angkutan penyeberangan sangat rendah dan mengalami kekurangan dari perhitungan HPP sebesar 31,8%, yang dihitung bersama-sama antara Kemenhub, PT ASDP, Asosiasi Gapasdap, Asuransi Jasa Raharja dan Jasa Raharja Putra, Perwakilan Konsumen, serta diketahui oleh Kemenko Marvest pada tahun 2019.
Menurut Rachmat, hal ini yang seharusnya juga menjadi perhatian dari pemerintah, ketika tarif yang berlaku belum sesuai dengan perhitungan biaya pokok, maka seharusnya juga diberikan insentif dari biaya-biaya yang ada.
"Baik itu biaya kepelabuhanan, perpajakan, PNBP, bunga perbankan serta subsidi BBM yang seharusnya berbeda dibanding modal lain bahkan kendaraan pribadi sekalipun, karena adanya fungsi rangkap sebagai infrastruktur (jembatan) di negara maritim," jelasnya.
"Jika kondisi tersebut tidak diperhatikan, maka kami akan semakin kesulitan dalam mengoperasikan kapal kami, terutama dalam rangka memenuhi standar keselamatan maupu kenyamanan yang ditetapkan oleh pemerintah," ujarnya menambahkan.
Menurut Rachmat, untuk tarif angkutan penyeberangan sendiri seharusnya mengalami penyesuaian pada tanggal 1 November 2024 sebesar 5% sesuai KM 131 tahun 2024 tertanggal 18 Oktober 2024, namun dilakukan penundaan oleh Dirjen Darat Kemenhub secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder dan hingga kini juga tidak kunjung diberlakukan.
"Kami memandang bahwa penundaan yang tidak ada batas waktu tersebut bertentangan dengan PM 66 tahun 2019 tentang Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, bahwa yang menetapkan tarif adalah Menteri Perhubungan RI, dan ketika menunda atau membatalkan hendaknya melalui tahapan dan juga dengan menggunakan peraturan menteri yang baru," ungkapnya.
Adanya penyesuaian tarif yang hanya 5% tersebut paling tidak dapat membuat pengusaha agak bisa bernapas.
"Dan sebenarnya efek kenaikan tarif tersebut bagi konsumen sangat kecil," tandasnya.
Sebagai contoh untuk lintas Ketapang-Gilimanuk, dimana tarif Pnp naik hanya Rp500, kemudian untuk kendaraan barang naik Rp23.000.
Jika kenaikan tersebut dibagi tonase barang yg dimuat di truk, misalkan beras sebanyak 30 ton, maka kenaikan tarif tersebut hanya memiliki pengaruh kenaikan harga Rp0,76 /kg tidak sampai Rp1.
"Atau jika barang tersebut berupa beras seharga Rp10.000, maka kenaikannya hanya 0.007% saja. Jadi sangat kecil pengaruhnya," ujar Rachmat.
Angkutan penyeberangan merupakan sarana transportasi yang mayoritas penggunanya adalah masyarakat kelas bawah, dengan jumlah yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan moda angkutan udara yang penggunanya sedikit dan segmentasinya adalah masyarakat kelas atas.
Namun selama ini, kata Rachmat, keberadaan sektor angkutan penyeberangan cenderung tidak diperhatikan.
Padahal dengan kondisi transportasi penyeberangan yang baik, maka akan menyelamatkan transportasi masyarakat kelas bawah yang sekaligus juga sebagai infrastruktur.
"Oleh karena itu kami mohon kepada pemerintah agar juga memperhatikan sektor angkutan penyeberangan," harapnya.
Jika memang tarif yang berlaku masih belum sesuai dengan perhitungan, Gapasdap meminta agar diberikan insentif-insentif.
Baik berupa biaya kepelabuhanan, PNBP, perpajakan, bunga perbankan, dan juga harga BBM subsidi yang berbeda dibandingkan dengan moda transportasi lain.
"Kami juga berharap agar tarif yang kemarin dilakukan penundaan pemberlakuan, dapat segera diberlakukan setelah masa angkutan lebaran selesai," ujarnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |