Peristiwa Daerah Mozaik Ramadan 2025

Tradisi Berbuka Bubur Lodeh di Masjid Kauman Bantul

Jumat, 07 Maret 2025 - 22:36 | 67.26k
Kaum perempuan warga Dusun Kauman meracik bubur lodeh di serambi masjid menjelang waktu berbuka, Jumat (7/2/2025). (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Kaum perempuan warga Dusun Kauman meracik bubur lodeh di serambi masjid menjelang waktu berbuka, Jumat (7/2/2025). (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANTUL – Tradisi Islam di Jawa selalu punya keterkaitan dengan sejarah panjang perjalanan para wali di tanah Jawa. Tradisi itu tersebar di beberapa wilayah di Jawa, dan mengakar sangat kuat.

Saking kuatnya akar tradisi dari para wali yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat, sehingga tradisi itu terus dijaga keberlangsungannya secara turun temurun hingga saat ini.

Advertisement

Salah satu warisan tradisi Islam dari wali yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat itu ada di masjid Sabiilurrosyaad, Kalurahan Wijirejo, Pandak, Bantul, Yogyakarta. Menurut catatan sejarah, masjid ini sudah ada sejak abad ke 16. Tradisi yang sampai saat ini masih dijaga adalah berbuka puasa dengan takjil bubur sayur lodeh.

membawa-bubur-menuju-serambi-masjid.jpgKhasanuddin, kiri berkaos kuning, membawa bubur menuju serambi masjid untuk diracik menjadi bubur lodeh, Jumat (7/2/2025). (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)

Tradisi berbuka dengan bubur lodeh dimulai sejak hari pertama bulan ramadan. Pada hari biasa panitia masjid Sabiilurosyaad menyediakan sekitar 100 hingga 200 porsi karena warga yang datang untuk berbuka biasanya hanya warga yang berasal dari Dusun Kauman sendiri.

Namun, jumlah porsi takjil bubur lodeh akan meningkat pesat saat hari Jumat karena jamaah yang hadir untuk berbuka biasanya datang tidak hanya dari sekitaran Dusun Kauman, Desa/kalurahan Wijirejo saja, melainkan dari luar area Desa Wijirejo.

Jumlah porsi pada hari Jumat mencapai antara 400 hingga 500 porsi untuk jamaah yang hadir untuk berbuka.

Hari Jumat (7/2/2025) sore, TIMES Indonesia berkunjung ke masjid Sabiilurrosyaad untuk ikut berbuka dan melihat tradisi yang sudah ada sejak masjid ini berdiri.

jamaah-menjelang-waktu-berbuka.jpgRemaja masjid Kauman membawa bubur lodeh untuk jamaah menjelang waktu berbuka, Jumat (7/2/2025). (FOTO: Eko Susanto/TIMES Indonesia)

Masjid Syabiilurosyaad berlokasi di Dusun Kauman, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Letaknya berada di tengah pemukiman. Atapnya menjulang karena arsitekturnya bertumpang.

Titik tertinggi atap masjid merupakan mustaka yang terbuat dari tanah liat peninggalan murid Sunan Kalijaga. Halamannya luas dikelilingi pagar tembok yang kokoh.

Kesra sekaligus takmir Masjid Syabiilurosyaad, Haryadi, 57 tahun, menuturkan dulu masjid ini bernama masjid Kauman. Karena begitu banyak para kaum dan alim ulama yang tinggal di sekitaran masjid.

Juru Masak Bubur

Proses memasak bubur itu berada di belakang masjid. Bubur beras dalam dua buah panci besar terlihat sedang dimasak oleh seorang juru masak Bernama Khasanuddin, 64 tahun.

Satu panci besar untuk memasak sekitar 5 kilogram beras. Khasanuddin ditemani oleh sekitar 4 perempuan yang bertugas menuangkan beragam bumbu seperti daun salam, santan, garam, dan lain sebagainya.

Khasanuddin memasak bubur untuk keperluan berbuka sejak berusia 15 tahun. Dulu, dia hanya membantu bapaknya. Namun berlanjut hingga saat ini.

Khasanuddin menjadi juru masak bubur setiap hari selama bulan ramadan. Waktu tersibuk tentu saja pada hari jumat, karena bubur yang akan dimasak jauh lebih banyak dibandingkan pada hari biasa.

Sedangkan juru masak untuk sayur lodeh adalah Ibu Putik. Ibu Putik dan beberapa perempuan lainnya memasak beragam topping sebagai pelengkap.

Pada hari ini, ada donatur yang menyumbangkan sate ayam berjumlah 700 tusuk sehingga topping bubur yang biasanya terdiri dari sayur lodeh, mi lethek, dan kuah areh, serta telur, pada jumat hari ini berbeda.

Sebagai gantinya terdapat tambahan dua tusuk sate ayam dan kerupuk sebagai lauknya. Sate ayam itu berasal dari seorang donatur warga Dusun Kauman Bernama Yanti.

Kepada TIMES Indonesia, Yanti, 55 tahun, menuturkan bahwa dia baru saja dapat arisan, jadi hasil arisan itu untuk sedekah menyumbangkan sate untuk lauk bubur lodeh. Sedangkan lauk telurnya untuk hari esok, ujar Yanti.

Ba’da Ashar bubur yang dimasak oleh Khasanuddin telah matang. Dua panci besar itu digotong oleh Khasanudin dan temannya untuk dibawa ke serambi Selatan masjid.

Di serambi selatan inilah ratusan piring yang telah dituangi bubur akan ditata usai diberi kuah sayur lodeh. Usai dituangi oleh kuah santan bubur itu diberi topping mi lethek, krecek, dan kuah areh yang kental.

Tradisi dari Penembahan Bodho

Haryadi, takmir masjid Syabiilurosyaad menuturkan, masjid ini dulu bangunannya tidak seperti ini. Dulu bangunan aslinya mirip dengan masjid Gede Kauman. Karena arsiteknya juga sama.

Namun karena tuntutan jaman dan kurang perhatiannya dinas instansi pemerintah terkait keberadaan benda cagar budaya sehingga keaslian masjid sebagai benda cagar budaya berubah sejak masjid ini dipugar pada tahun 1983.

Namun niatnya, kata Haryadi, semata karena fungsinya. Karena bangunan masjid lama sudah tidak muat lagi kapasitasnya jika untuk dipakai jumatan. Jadi, pemugaran masjid ini dulunya semata untuk memperluas masjid agar bisa menampung jamaah lebih banyak lagi.

Haryadi menuturkan, Masjid Kauman sudah ada sejak abad ke 16. Hal itu berdasarkan catatan yang dibuat oleh salah satu ulama warga Kauman Bernama Mohammad Hadi. Berdasarkan catatan sejarah ringkas yang disusun oleh Mbah Hadi, ujar Haryadi, masjid Kauman ini sudah berdiri sejak tahun 1485 Masehi.

Masih menurut cerita Haryadi, masjid Kauman Bantul dibangun pertama kali oleh Raden Trenggono. Cucu Adipati Terung, Sidoarjo. Kadipaten Terung merupakan Kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit era Brawijaya V.

Raden Trenggono merupakan murid Sunan Kalijaga. Dia mendapat julukan sebagai Penembahan Bodho karena tidak mau mewarisi jabatan sebagai Adipati Terung dan lebih memilih meninggalkan sifat keduniawian lalu mengembara melakukan syiar agama Islam.

Raden Trenggono menerima julukan bodoh itu dengan rendah hati. Karena baginya urusan keduniawian tidak lebih penting dari urusan akhirat. Dia rela tidak memilih menjadi Adipati melainkan lebih memilih mensyiarkan agama Islam.

Raden Trenggono oleh Sunan Kalijaga kemudian ditugaskan untuk mengembara mensyiarkan agama Islam di Mataram lalu mendirikan masjid Kauman, Bantul, yang kemudian menjadi Masjid Syabiilurosyad.

Lebih lanjut Haryadi bercerita, bahwa tradisi bubur lodeh sudah ada sejak masjid Kauman berdiri.

Pertama, bubur itu berasal dari kata bibirin yang artinya suatu hal yang bagus. Artinya, jika nanti masuk masjid ini akan disuguhi bubur, itu maknanya akan diberi ajaran atau suatu hal yang bagus, yang baik, yakni ajaran agama Islam.

Kemudian yang kedua, bubur itu dari kata beber artinya penjelasan. Nanti di masjid ini akan ada penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran yang baik.

Dengan pengajian-pengajian dan dakwah yang ada di masjid ini. Sedangkan yang ketiga itu babar. Babar itu sama dengan bubur itu.

Dengan materi yang sedikit tapi bisa membabarkan atau menyebarkan secara merata pada banyak orang. 

"Misalnya, kalau beras sekilo itu dimasak jadi nasi hanya bisa untuk 10 orang, kalo dibuat jadi bubur kan bisa untuk 25-30 orang," kata Haryadi.

Sedangkan Babar artinya merata untuk semua kalangan. Nantinya, semua akan dikasih ajaran agama Islam itu yang merata. Untuk semua kalangan. Tua, muda. Kaya, miskin. Pejabat dan rakyat jelata. Pamungkasnya, bubur itu teksturnya lembut. Cocok untuk takjil. Tidak membikin perut bergejolak. Cocok untuk berbuka puasa.

"Itu maksudnya, ajaran agama Islam itu harus disampaikan dengan lemah lembut. Tidak menimbulkan pro dan kontra. Tanpa kekerasan. Bisa mudah dicerna bagi mereka yang awam terhadap ajaran agama Islam," imbuh Haryadi.

Namun saat ditanya kenapa memakai sayur lodeh, Haryadi belum bisa memastikan asal muasalnya. Namun dia menjawab:

“Aslinya setahu saya dari dulu ya dengan sayur lodeh. Saya juga kurang tahu ya duluan mana dengan kraton," ucapnya.

Menurut Hariyadi, dulu, pihak kraton itu jika terjadi suatu peristiwa selalu saja menganjurkan pada kawula mataram untuk membuat sayur.

Sayur itu kan membawa pesan. Lodeh itu pesannya agar orang harus memahami sesuatu. Harus memperhatikan sesuatu. Sayur lodeh itu sebuah pesan," imbuhnya.

"Beda lagi jika misalnya dalam keadaan genting, sayurnya tentu berbeda lagi. Lodeh ini pesannya agar kita perhatian dalam memahami sesuatu yakni ajaran agama Islam. Makanya, bubur itu materinya apa adanya. Yang penting sayurnya lodeh. Lodeh dengan tahu tempe. Ada telur ya dicampurkan. Tapi intinya sayur lodeh,” ujar Haryadi.

Menjelang berbuka, jamaah yang hadir sudah memenuhi serambi depan dan samping masjid. Para perempuan warga Dusun kauman bahu membahu menata piring piring bubur di atas palet kayu.

Piring piring berisi bubur itu telah tertata rapih di atas palet kayu berukuran sekitar empat kali dua meter. Piring-piring berisi bubur itu disusun rapi. Terlihat indah dengan warna santan kuning yang menggoda otot perut.

Di atas piring-piring bubur itu tersimpan sejarah panjang kesetiaan menjaga warisan kebudayaan dari para leluhur. Warisan budaya dari orang-orang terdahulu yang secara turun temurun. Orang-orang yang istiqomah membuat bubur sayur lodeh setiap bulan ramadan.

Orang-orang terdahulu itu ada Mbah Kalwan yang menjadi juru masak bubur. Ada Mbah Samingan. Ada Mbah Ngadiman dan adiknya Mbah Zurkoni. Ada Mbah Wardani hingga Khasanuddin saat ini. Juga ada warga yang dengan tulus menjadi donatur hingga bubur sayur lodeh tersaji sejak ratusan tahun yang lalu hingga saat ini.

Serambi masjid kini telah dipenuhi orang. Mereka duduk bersila. Ada ceramah pengantar menjelang waktu berbuka yang diwedarkan oleh Kiai Irham Sya’roni seorang ulama dari Dusun Ngeblak. Piring-piring bubur telah dihantarkan oleh remaja masjid Kauman. Piring-piring itu diletakkan di depan setiap orang yang bersila dengan takjim.

TIMES Indonesia dan beberapa teman-teman jurnalis duduk di serambi masjid dekat dengan bedug. Di depan kami ada sepiring bubur sayur lodeh dan segelas teh hangat manis.

Warna bubur sayur lodeh terlihat menguning tua. Perpaduan warna santan dan rempah kunir yang matang sempurna. Kuahnya yang menguning itu menggenang mengelilingi bubur yang berwarna putih.

Di bagian tengahnya terdapat irisan-irisan tempe. Sepotong krecek kulit sapi. Dan dua tusuk sate ayam dan sebungkus kerupuk sebagai pelengkap.

Paling atas dari sajian bubur ini terdapat sejumput tumisan mi lethek yang warnanya meredam semua warna yang ada di atas piring menjadi harmonis. Semua warna di atas piring itu seperti punya kekuatan magis. Lalu menyatu dalam sebuah kesatuan dalam sepiring bubur sayur lodeh.

Aromanya khas. Rasa gurihnya membawa imajinasi pada suasana sebuah desa yang jauh. Desa yang penuh kearifan. Menentramkan.

Sesuap bubur warna putih kemudian secara bergiliran masuk ke dalam mulut. Lembut. Legit. Perpaduan santan, garam, dan daun salam, sepertinya telah benar-benar menyatu.

Karena aroma daun salamnya masih tercium, khas. Apalagi saat krecek dan telur susul menyusul masuk ke dalam ruang indra perasa. Demikianlah rasa dari sebuah tradisi yang telah diwariskan oleh para pendahulu. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES