Diambang Kepunahan, Kisah Kusir Dokar Banyuwangi Bertahan di Era Gempuran Transportasi Modern

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Keduprak... keduprak... keduprak... Suara sepatu kuda yang khas menapaki jalan beraspal kini tak lagi akrab di telinga warga Banyuwangi. Harmoni tradisional yang dulu menjadi bagian dari denyut nadi kota, perlahan memudar di tengah dominasi kendaraan bermotor.
Namun di tengah kepungan ojek online dan angkutan kota, masih ada yang bertahan menjaga warisan budaya itu. Ia adalah Ainul Yakin, pria 30 tahun asal Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Yakin—begitu ia akrab disapa—sudah akrab dengan kuda dan dokar, yang diwarisi dari kakek dan ayahnya.
Advertisement
“Dulu, dokar andalan warga buat pergi atau bawa barang. Sekarang, semua serba cepat, orang pilih motor atau mobil,” ujarnya sambil membelai kudanya, Rabu (9/4/2025).
Bagi Yakin, dokar bukan sekadar alat transportasi. Lebih dari itu, ia adalah bagian hidup dan identitas keluarga. Sayangnya, realita tak bisa ditolak. Di Boyolangu sendiri, dokar sebagai moda harian sudah lenyap sejak lima tahun terakhir.
Kini, Yakin hanya melayani pesanan dokar untuk keperluan hajatan seperti pernikahan, khitanan, dan acara adat, terutama saat musim liburan atau pasca Lebaran. Beberapa wisatawan juga kadang tertarik menjajal sensasi naik dokar saat berkunjung ke Banyuwangi.
“Kalau untuk angkutan harian sudah tidak ada, sekarang lebih banyak dipakai untuk acara adat atau wisata,” jelasnya.
Selain menjadi kusir dokar, Yakin juga bekerja di Pelabuhan Ketapang, tempat hilir mudik para penumpang kapal ke Bali. Di sela-sela kesibukannya, ia tetap menyisihkan waktu untuk merawat kuda dan menjaga dokar warisan.
“Keluarga kami pecinta kuda. Dokar ini sudah jadi bagian dari hidup saya,” tuturnya, menyebut nama istrinya, Desi Mirnasari, sebagai sosok yang mendukung pilihan hidupnya.
Meski makin tersisih, Yakin menyimpan harapan. Ia ingin dokar kembali punya ruang dalam geliat pariwisata Banyuwangi, yang selama ini dikenal kaya akan tradisi dan budaya.
“Semoga pemerintah bisa adakan program wisata yang melibatkan dokar. Biar kami bisa terus bertahan,” harapnya.
Kisah Ainul Yakin adalah cerminan kegigihan dalam menjaga warisan tradisi di tengah modernisasi. Di saat deru mesin terus mendominasi, suara dokar mungkin terdengar lirih—namun bagi mereka yang mencintai akar budaya, denting rodanya tetap hidup di hati. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Sholihin Nur |