Peristiwa Daerah

Tradisi Ithuk-Ithukan, Warisan Syukur Suku Osing atas Berkah Mata Air di Rejopuro Banyuwangi

Sabtu, 10 Mei 2025 - 13:16 | 8.68k
Prosesi arak-arakan Ithuk menuju Sumber Hajar, Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Prosesi arak-arakan Ithuk menuju Sumber Hajar, Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Di tengah kemajuan zaman, masyarakat Suku Osing di Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, tetap teguh menjaga warisan leluhur. Salah satunya melalui tradisi Ithuk-Ithukan, sebuah ritual sakral yang setiap tahun digelar sebagai wujud syukur atas keberlimpahan Sumber Hajar, mata air utama di wilayah mereka.

Tahun ini, prosesi Ithuk-Ithukan berlangsung meriah pada Sabtu, 10 Mei 2025, bertepatan dengan tanggal 12 Dzulqa’dah dalam kalender Islam. Meski zaman terus berubah, ritual yang dipercaya telah ada sejak tahun 1617 ini tetap dipertahankan dengan penuh kesakralan dan kebersamaan.

Advertisement

Ritual yang Sarat Makna

Ithuk-a.jpgProsesi doa bersama di Sumber Hajar, Dusun Rejopuro, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)

Ithuk-Ithukan dimulai dari pembuatan Ithuk—sejenis wadah makanan dari daun pisang yang dilipat rapi. Di dalamnya terdapat sajian khas berupa nasi dengan lauk pecel pitik, ayam suwir berpadu dengan bumbu kelapa, yang menjadi simbol hasil bumi dan kekayaan kuliner Osing.

Sebelum diarak, seluruh Ithuk dan tumpeng pethetheng terlebih dahulu didoakan bersama. Doa dipanjatkan sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan Sang Pencipta. Usai doa, prosesi dilanjutkan dengan kirab puluhan perempuan berkebaya Osing, membawa Ithuk menuju Sumber Hajar, dengan iringan kesenian Barong dan Kuntulan.

“Tradisi Ithuk-Ithukan ini bentuk rasa syukur masyarakat Rejopuro atas berlimpahnya mata air yang tak pernah surut meski musim kemarau dan juga tidak pernah banjir walaupun di musim penghujan,” ujar Nang Inok, Ketua Adat Rejopuro, Sabtu (10/5/2025).

Setibanya di sumber mata air, seluruh persembahan kemudian disantap bersama. Ithuk bukan sekadar makanan, tetapi simbol rasa syukur, penghargaan terhadap alam, dan pengikat silaturahmi antarwarga.

Menjaga Nilai Sosial dan Budaya

arak-arakan-Ithuk-a.jpgIring-iringan Barong Banyuwangi menuju Sumber Hajar. (FOTO: Ikromil Aufa/TIMES Indonesia)

Lebih dari sekadar ritual tahunan, Ithuk-Ithukan juga menjadi ajang silaturahmi dan solidaritas sosial. Warga tidak hanya berbagi makanan, tetapi juga berbagi cerita, kebersamaan, dan semangat gotong royong.

“Tradisi yang diwariskan leluhur kami ini menunjukkan bagaimana untuk saling berbagi dan menyayangi sesama manusia,” kata Nang Inok, yang merupakan keturunan kelima dari pendiri Dusun Rejopuro.

Sikap ramah dan terbuka juga tercermin dalam pembagian Ithuk kepada para tamu yang datang, menjadikan Ithuk-Ithukan tidak hanya sebagai ritual lokal, tetapi potensi wisata budaya yang sarat edukasi dan nilai.

Melestarikan di Tengah Arus Zaman

Meski teknologi dan gaya hidup modern mulai merambah pedesaan, masyarakat Rejopuro tetap menjaga keaslian prosesi Ithuk-Ithukan. Mereka sadar bahwa tradisi ini adalah identitas budaya yang tak bisa tergantikan.

Bagi warga Rejopuro, mata air bukan hanya sumber fisik, tetapi juga spiritual. Maka menjaga kelestarian Sumber Hajar dan tradisi yang menyertainya adalah bentuk penghormatan kepada alam sekaligus bentuk tanggung jawab antar generasi.

Ithuk-Ithukan adalah pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta nilai luhur warisan nenek moyang yang tak lekang oleh waktu.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES