Izin Penangkapan Benur Masih Ruwet, Dinas Perikanan Pacitan: Baru 25 KUB yang Legal

TIMESINDONESIA, PACITAN – Soal izin tangkap benih lobster (benur) di Kabupaten Pacitan ternyata belum semulus yang dibayangkan. Dari ribuan nelayan yang menggantungkan hidup dari benur, baru sebagian kecil yang mengantongi legalitas resmi.
Kepala Dinas Perikanan Pacitan, Bambang Marhendrawan, mengatakan persoalan utama bukan hanya di lapangan, tapi juga di tingkat regulasi yang terus berubah-ubah dari pusat. Akibatnya, nelayan pun jadi bingung dan serba salah.
Advertisement
“Ini biasa saya sampaikan kepada masyarakat nelayan, kalau kalian itu berjalannya putih. Jika ada apa-apa di mana saja, kami siap membackup dan itu sudah benar-benar terlaksana,” ujar Bambang, Rabu (4/6/2025).
Menurut dia, saat ini ada sekitar 3.000 nelayan pencari benur di Pacitan. Tapi yang sudah memiliki izin resmi belum semua. Salah satu langkah yang terus didorong oleh dinas adalah pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUB), agar proses legalitas bisa lebih mudah dan kolektif.
“Dari sekitar 3.000 nelayan itu, belum semuanya punya izin. Maka kami ajak mereka membentuk KUB supaya bisa legal,” tambahnya.
Masalah lain muncul dari seringnya perubahan aturan di pusat. Saat era Menteri Susi Pudjiastuti, penangkapan benur dilarang total. Ganti Menteri Edi Prabowo, diperbolehkan lagi dengan berbagai kelonggaran. Nelayan pun ramai-ramai mengurus izin.
Tapi belum lama kemudian, datang aturan baru dari Menteri Sakti Wahyu Trenggono. Legalitas lama dianggap tak berlaku, dan nelayan diminta mengurus ulang dari awal.
“Nah, kalau di level kami bisa memahami. Tapi pemahaman masyarakat kita beda-beda. Karena itu, kami lakukan sosialisasi dan pendampingan terus menerus,” terang Bambang.
Saat ini, baru 25 KUB yang sudah mengantongi izin resmi. Tapi itu pun belum cukup. Karena izin tangkap saja belum menjamin benur bisa dikirim atau dijual keluar daerah.
“Karena prosedurnya, KUB yang harus ajukan izin ke kami. Lalu ada proses pengiriman, dan itu panjang,” ujarnya.
Pengiriman benur harus melewati sejumlah tahapan. Mulai dari pre-order ke BLU Kementerian Kelautan dan Perikanan, surat jalan dari pemkab, hingga lewat jalur koperasi resmi. Semua proses ini harus lengkap, karena menyangkut legalitas ekspor.
“Transportasi itu sangat riskan. Harus ada surat jalan yang dikeluarkan pemkab, berdasarkan pengajuan dari koperasi. Kami juga harus menghitung dan memverifikasi jenis benurnya,” tegas Bambang.
Setiap benur yang dikirim dikenakan retribusi Rp50 per ekor, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda). Dana itu digunakan untuk membiayai pengecekan jenis hingga verifikasi administratif.
Sayangnya, sistem yang rumit ini belum banyak dipahami nelayan. Padahal, semua benur wajib diekspor lewat koperasi dan jalur resmi BLU. Jika tidak, dianggap ilegal.
“Sayangnya, sistem rumit ini belum banyak dipahami. Padahal semua benur wajib diekspor melalui koperasi dan BLU. Kalau tidak, ya dinilai ilegal,” jelasnya.
Meski begitu, Dinas Perikanan tetap ingin berpihak kepada nelayan. Edukasi pun terus dilakukan agar aturan yang ada bisa dipahami, dan nelayan tetap bisa mencari nafkah tanpa melanggar hukum.
“Kami juga harus berpihak ke nelayan. Tapi ya tetap sambil edukasi pelan-pelan. Karena memang tata niaganya sangat ketat,” pungkas Bambang. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Sholihin Nur |