RSUD Jombang Tangani Pasien HIV/AIDS dengan Hati dan Pendekatan Kemanusiaan

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Penanganan pasien HIV/AIDS bukan sekadar urusan medis, melainkan juga soal kemanusiaan dan empati. Hal itulah yang diterapkan RSUD Jombang, Jawa Timur, dalam upayanya memberikan layanan terbaik bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Dengan pendekatan multidisiplin dan menjunjung tinggi kerahasiaan, rumah sakit ini terus memperkuat peran layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing).
Advertisement
Dokter senior RSUD Jombang, dr. Hardini Indarwati, menegaskan bahwa pasien HIV/AIDS kerap menghadapi stigma yang membuat mereka sulit untuk terbuka. Oleh karena itu, layanan di Poli VCT perlu dilakukan dengan kelembutan hati, jaga etika, dan menghormati privasi pasien.
"Ketika bertemu pasien HIV untuk pertama kali, saya sampaikan bahwa mereka adalah keluarga baru di Poli VCT. Ini penting agar mereka merasa diterima dan tidak sendiri," tutur dr. Hardini dalam podcast Jombang Interaktif di kanal YouTube Radio milik Pemkab Jombang yang dikutip, Kamis (19/6/2025).
Pendekatan personal dan psikologis menjadi bagian penting dalam mendampingi ODHA. RSUD Jombang menjalin sinergi dengan LSM MAHAMERU, yang berperan sebagai pendamping sebaya untuk mendukung proses pemulihan mental pasien. Dukungan yang diberikan tak hanya berupa pengobatan, tetapi juga konseling, pendampingan sosial, hingga spiritual.
Kerja sama ini telah berjalan sejak tahun 2014. MAHAMERU juga aktif dalam penemuan kasus baru, kunjungan rumah, hingga membantu proses pemulasaraan jenazah ODHA, bahkan pada waktu-waktu tak terduga.
"Perlu juga pendekatan agama. Kami sampaikan bahwa tubuh ini amanah dari Tuhan, dan setiap orang berhak merencanakan masa depan yang lebih baik," ujar dr. Hardini.
Dalam penjelasannya, ia juga mengungkapkan bahwa kasus HIV pertama di Indonesia ditemukan tahun 1987 di Denpasar. Sementara itu, hingga kini penularan HIV masih banyak terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, serta penggunaan narkoba suntik secara bergantian.
“Di Jombang, sebagian besar pasien kami berasal dari pergaulan bebas yang kurang terpantau oleh orang tua,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa HIV terbagi menjadi empat stadium. Stadium 1 dan 2 menandakan HIV positif, sedangkan stadium 3 dan 4 dikategorikan sebagai AIDS. Pada stadium lanjut, pasien mulai mengalami infeksi oportunistik seperti TBC, pneumonia, hingga kandidiasis di kerongkongan.
“Lama waktu seseorang menunjukkan gejala tergantung dari jumlah virus yang masuk, kondisi imun, dan frekuensi perilaku berisiko,” jelasnya.
Terapi ARV (Antiretroviral) menjadi kunci utama pengobatan HIV/AIDS. Obat ini tidak membunuh virus, namun mencegah berkembangbiaknya virus dalam tubuh. Pemeriksaan viral load menjadi alat ukur keberhasilan pengobatan. Bila jumlah virus sangat rendah, alat bahkan tidak bisa mendeteksinya, namun ini bukan berarti virus hilang.
“ARV harus diminum seumur hidup. Kalau dihentikan, virus akan aktif kembali dan bisa membuat kondisi pasien memburuk,” imbuh dr. Hardini.
Sebagai penutup, ia mengingatkan pentingnya menghentikan diskriminasi terhadap ODHA.
"Jauhi penyakitnya, bukan orangnya. Stop diskriminasi dan stigma!," tegasnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |