Demi Demokrasi Ko Chit Min Thu Ditembak Kepalanya Disaat Istrinya Hamil

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Seorang pengunjuk rasa damai Myanmar yang meninggal dunia, Ko Chit Min Thu (25), karena peluru tajam aparat keamanan meninggalkan kisah pilu bagi keluarganya.
"Maafkan aku, istriku. Jika aku tidak keluar hari ini dan jika orang lain melakukan hal yang sama, kami tidak akan mendapatkan demokrasi kembali," begitu kata-kata terakhir Ko Chit Min Thu kepada istrinya yang tengah hamil saat berpamitan untuk bergabung dengan para pengunjuk rasa menentang kudeta Myanmar.
Advertisement
Ko Chit Min Thu akhirnya memang tidak kembali ke istri dan ibunya. Istrinya yang menangis mengatakan sebenarnya dia sudah mencoba menghentikan suaminya, mengatakan dia khawatir bayi mereka dan anak yang belum lahir bisa kehilangan ayah mereka. "Tetapi dia menjawab bahwa dia harus memperjuangkan demokrasi," katanya.
Dia berdiri di depan protes di North Dagon Township memegang perisai darurat untuk melindungi pengunjuk rasa lainnya ketika peluru tajam menembus kepalanya di pagi hari. Seorang pengunjuk rasa lainnya terluka parah dengan tembakan di paha.
Di malam hari, warga dan pengunjuk rasa memberikan penghormatan kepada Ko Chit Min Thu di mana dia kehilangan nyawanya.
Myanmar telah menyaksikan tindakan keras berdarah terhadap protes anti-rezim sejak pertemuan skala besar, sebagian besar kaum muda, dimulai pada Februari.
The Irrawaddy menghitung sedikitnya 70 orang yang telah terbunuh oleh tentara dan polisi selama penumpasan terhadap demonstrasi dan lebih dari 2.000 orang yang telah ditahan.
Namun meningkatnya ancaman pembunuhan, penahanan dan penggerebekan ternyata tidak menghalangi pengunjuk rasa anti-rezim Myanmar, yang bertekad untuk melanjutkan perjuangan sampai demokrasi dipulihkan. Para pengunjukrasa itu kembali ke jalan-jalan di seluruh negeri pada hari Kamis dan terus menentang rezim.
Pelapor khusus PBB untuk Myanmar mengecam militer negara itu atas pembunuhan sedikitnya 70 orang sejak protes meletus terhadap perebutan kekuasaannya pada Februari , dengan alasan semakin banyak bukti kejahatan terhadap kemanusiaan - termasuk pembunuhan, penganiayaan dan penyiksaan.
Berbicara tentang "kebenaran yang mengerikan", penyelidik hak asasi manusia Thomas Andrews mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada hari Kamis bahwa "negara Myanmar sedang dikendalikan oleh rezim yang membunuh dan ilegal".
"Lebih dari setengah dari mereka yang meninggal dunia berusia di bawah 25 tahun," kata Andrews. Ia juga menambahkan lebih dari 2.000 orang telah ditahan secara tidak sah sejak kudeta dan kekerasan terus meningkat.
"Ada banyak bukti video tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat. Ada video tentara dan polisi yang secara sistematis bergerak melewati lingkungan sekitar, merusak properti, menjarah toko, menangkap pengunjuk rasa dan pejalan kaki secara sewenang-wenang, dan menembak tanpa pandang bulu ke rumah-rumah penduduk," katanya.
Andrews menyerukan agar sanksi multilateral dijatuhkan pada para pemimpin militer senior dan sumber utama pendapatan negara, termasuk perusahaan milik militer dan perusahaan minyak dan gas Myanmar.
"Seharusnya tidak mengejutkan bahwa ada bukti yang berkembang bahwa militer Myanmar yang sama ini, yang dipimpin oleh kepemimpinan senior yang sama, sekarang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan," ujar Andrews.
Namun tuduhan itu ditolak Myanmar. "Pihak berwenang telah menahan diri sepenuhnya untuk menangani protes kekerasan," kata Sekretaris tetap Kementerian Luar Negeri, Chan Aye dalam pesan videonya.
Pernyataan tertulisnya (video dipotong pendek) juga mengatakan, Myanmar sedang mengalami tantangan yang sangat kompleks dan menghadapi situasi yang sulit. Ia menegaskan kepemimpinan militer tidak ingin menghentikan transisi demokrasi yang mulai berkembang.
"Dalam hal ini, Myanmar ingin meminta pengertian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional tentang upayanya untuk menjaga kedaulatan, kemerdekaan politik, integritas teritorial, persatuan nasional dan stabilitas sosial di seluruh negeri," katanya.
Myanmar kacau sejak militernya menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi lewat kudeta militer pada 1 Februari. Perebutan kekuasaan itu memicu protes besar-besaran di seluruh negeri.
Militer bersikukuh membenarkan kudeta tersebut dengan mengatakan pemilu, yang dimenangkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi dinodai oleh penipuan, sebuah pernyataan yang tidak pernah disertai bukti dan bahkan juga sudah dibantah komisi pemilihan.
Dalam putaran terakhir bentrokan berdarah antara pasukan keamanan Myanmar dan pengunjukrasa pada Kamis, setidaknya 12 orang telah meningal termasuk Ko Chit Min Thu yang telah meninggal kisah pilu tersendiri. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |