Menapaki Terjal Jabal Nur; Proses Mengenali Diri (1)

TIMESINDONESIA, MAKKAH – Sekira pukul 01.00 Waktu Arab Saudi, perjalanan dari lokasi penginapan menuju Jabal Nur, Makkah dimulai. Setelah menyusuri jalanan yang masih ramai sekitar 15 menit, kami sampai di parkiran. Belum banyak kendaraan pagi itu, dini hari.
Sebelum mulai menapaki anak tangga Jabal Nur, gunung batu nan terjal, pengunjung harus jalan kaki menanjak di jalanan beraspal. Cukup licin. Kanan kiri jalan, penjual souvenir banyak memawarkan oleh-oleh khas seperti tasbih, surban, tongkat atau teken, senter, air minum dan makanan ringan.
Advertisement
Tampak, pintu pagar besi berjaring terbuka lebar. Ya, itulah tanda dimulainya etape menanjak gunung batu, Jabal Nur. Dari bawah, dalam keadaan temaran, tampak di sepanjang jalan menuju puncak, peziarah menaiki tangga. Ada juga yang sedang turun.
Jurnalis TIMES Indonesia, Bambang H Irwanto saat berada di depan Gua Hira. (Foto: MCH 2023)
Puluhan anak tangga saya lalui. Berhenti sejenak untuk ambil nafas panjang. Istirahat. Bertemu peziarah dari Indonesia, kami selalu disapa. Maklum, karena kami menggunakan seragam petugas, mereka mudah mengenali.
"Semangat pak. Nanti kalau sudah ketemu jalan ada pegangan tangan dari besi, tandanya separo lagi," katanya kepada saya.
Wow. Pegangan tangan yang dimaksud, belum juga kelihatan. Berarti masih jauh. Melanjutkan perjalanan, seperti sebelumnya, beberapa puluh anak tangga saya injak menanjak, istirahat lagi.
"Semangat pak, pasti sampai kok," kata peziarah asal Indonesia yang turun dari Jabal Nur.
Tak semua teman saya kuat melanjutkan perjalanan menanjak. "Saya harus tahu diri. Sepertinya, saya berhenti di sini saja, saya tunggu teman-teman di sini, sampai turun," kata Moch. Sururi, jurnalis TV 9 Nusantara, yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) 2023 Daker Madinah, rombongan saya.
Saya sempat berdiskusi dengan Mbah Sururi, begitu dia akrab disapa. Yakni seputar makna napak tilas Jabal Nur. "Adalah menapaktilasi Rasululllah dalam proses mengenal diri sendiri dan lingkungan dirinya. Dari Gua Hira, langsung menghadap Masjidil Haram, Rasulullah ingin melihat masyarakatnya, sekaligus di dalam gua, melihat diri sendiri," paparnya.
Moch. Sururi, jurnalis TV 9 Nusantara saat beristirahat di jalan menanjak menuju puncak Jabal Nur. (Foto: MCH 2023)
Menurutnya, memahami diri adalah tahu diri. Tahu siapa kita, siapa lingkungan kita, dan mengenal diri saat sendiri maupun saat bersama-sama. "Dan menerima wahyu adalah pucak dari proses," tambah Mbah Sururi.
Kembali ke anak tangga. Melihat nenek-nenek, kakek-kakek asal Turki begitu bersemangat tak kenal lelah, saya termotivasi. Masak kalah sama mereka. Begitu dalam hati.
Perasaan agak lega. Saat anak tangga yang saya injak, di pinggirnya terdapat pegangan besi. Wah sudah separo berarti. Begitu dalam hati.
Ya, memang sepertinya sudah separo. Tapi tunggu dulu, karena ternyata track mendekati puncak lebih terjal. Kemiringannya luar biasa. Tak boleh terpeleset atau tergelincir. Di bawah, bebatuan besar dan tajam menganga. Ya Allah, dulu Rasulullah SAW pasti lebih dari ini perjuangannya karen belum ada anak tangga dari semen yang dibangun seperti sekarang.
"Nanti kalau sudah sampai atas, Insya Allah rasa capeknya hilang dan tergantikan suasana yang luar biasa," jelas seorang peziarah saat tahu saya berhenti karena kelelahan. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |