Menapaki Terjal Jabal Nur; Pelajaran Spiritualitas dan Kemanusiaan (3-Habis)

TIMESINDONESIA, MAKKAH – Allahu Akbar.... Allahu Akbar..... Azdan Subuh berkumandang. Nan jauh di bawah Jabal Nur. Tapi sayup terdengar. Semua bergegas. Menyiapkan diri. Ada yang sejak naik sudah berwudhu dan berusaha tidak batal sampai atas. Ada pula yang berwudhu dengan air bekal bawannya.
Menurut informasi, saban hari tak kurang dari 5.000 peziarah naik ke Jabal Nur. Destinasi wisata ziarah bagi jemaah termasuk asal Indonesia, saat musim haji maupun umrah di sepanjang tahun.
Advertisement
Banyak hikmah dari berziarah ke Jabal Nur. Utamanya, pelajaran spiritual. Adalah sebuah proses mendapatkan ketenangan dan pencerahan yang membutuhkan kesucian diri, hati, dan perjuangan.
Puncak adalah saat dan tempat yang tepat untuk kontemplasi. Merenung dan berdoa. Bermunajat tepat di bawah langit. Dengan langsung memandang masyarakat Kota Makkah di bawahnya.
Puncak adalah perenungan yang membutuhkan kesucian serta perjuangan untuk menggapainya.
Penulis merasakan betapa butuh perjuangan untuk sampai ke puncak Jabal Nur. Padahal, itu dini hari, dan membutuhkan waktu hampir dua jam. Tak ada matahari menyengat. Sebaliknya, penuh belaian semilir angin. Tak bisa dibayangkan jika siang hari menapaki anak tangga menuju Gua Hira.
Alhamdulillah. Puji syukur Ya Allah. Rasanya tenang dan nyaman. Duduk bersila di batu besar. Hawa sejuk menyelimuti. Menengadah adalah langit. Memandang ke depan adalah wilayah Masjidil Haram nan jauh di sana terlihat bersinar.
Sinar terang mulai terlihat. Tanda matahari akan segera menampakkan diri. Saya dan teman-teman memilih bergeser turun Jabal Nur. Alasannya, jangan sampai terlambat turun setelah matahari naik. Tentu, panas akan menerpa.
Tapi, saat akan kembali, saya justru heran. Jalanan terjal naik yang harusnya saya lewati, penuh peziarah turun menuju Gua Hira. Tampaknya, sedang banyak-banyaknya peziarah datang. Saya tetap berjalan menyibak penuhnya peziarah. Dengan berpegangan erat besi pembatas, saya menaiki satu per satu anak tangga di atas Gua Hira.
Sesampainya di puncak Jabal Nur, di lokasi yang cukup lapang, setelah cahaya matahari memperjelas sekeliling, wow, terlihat gugusan batu tajam begitu terjal. Itu yang saya daki tadi saat gelap. Begitu gumam saya di hati.
Saya menyempatkan diri berfoto-foto sejenak di tengah rute turun. Istirahat itu wajib. Meski jalan yang ditapaki menurun. Karena, kaki harus menopang berat tubuh.
Hingga akhirnya, kembali menapaki jalanan aspal menuju lokasi parkir kendaraan. Ya Allah, jujur, saya merasa hati penuh haru meninggalkan Jabal Nur. Wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah di Gua Hira, sosok yang membawa pencerahan, minadz dzulumaati ilannuur. Penuh perjuangan menuju tempat di mana wahyu pertama turun.
Yang saya tapaki baru saja, Jabal Nur sekarang, pasti jauh lebih ringan, tak ada apa-apanya dibandingkan zaman Rasulullah. Ya Allah, kabulkanlah doa-doa hambaMu ini. Amin. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |