Peristiwa Internasional

Puncak Tertinggi di Dunia, Gunung Everest Kini Sesak dan Kotor

Minggu, 03 Maret 2024 - 08:35 | 54.94k
Para pendaki gunung sedang menuju puncak Gunung Everest, saat mereka mendaki dari sisi selatan Nepal. (Foto: AFP)
Para pendaki gunung sedang menuju puncak Gunung Everest, saat mereka mendaki dari sisi selatan Nepal. (Foto: AFP)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anggota terakhir yang masih hidup dari tim pertama yang menaklukkan Gunung tertinggi di dunia, Gunung Everest, Kanchha Sherpa mengatakan, sekarang gunung itu penuh sesak dan kotor

Kanchha Sherpa yang kini berusia 91 tahun itu adalah satu-satunya anggota ekspedisi pendakian gunung yang pertama kali menaklukkan Gunung Everest yang masih hidup.

Advertisement

Sabtu (2/3/2024) kemarin ia mengatakan, bahwa puncak tertinggi di dunia itu terlalu ramai dan kotor, dan gunung tersebut perlu dihormati.

Kanchha Sherpa termasuk di antara 35 anggota tim yang menempatkan Edmund Hillary dari Selandia Baru dan pemandu Sherpa-nya Tenzing Norgay di puncak puncak setinggi 8.849 meter pada tanggal 29 Mei 1953.

"Akan lebih baik jika gunung tersebut mengurangi jumlah pendaki," kata Kanchha dalam sebuah wawancara di Kathmandu pada hari Sabtu seperti dilansir Arab News.

"Saat ini selalu ada banyak orang di puncak," tambahnya.

Sejak penaklukan pertama, puncaknya telah didaki ribuan kali, dan semakin ramai setiap tahunnya.

Selama musim pendakian musim semi tahun 2023, 667 pendaki mendaki puncak dan membawa ribuan staf pendukung ke base camp antara bulan Maret dan Mei.

Ada kekhawatiran mengenai jumlah orang yang tinggal di gunung selama berbulan-bulan, yang menghasilkan sampah dan limbah, dan pihak yang berwenang tidak memiliki rencana untuk mengurangi jumlah izin yang mereka keluarkan kepada para pendaki.

Menurutnya, ada peraturan yang mewajibkan pendaki untuk membawa sendiri sampah, peralatan, dan segala sesuatu yang mereka bawa ke gunung atau berisiko kehilangan uang jaminan.

"Sekarang sangat kotor. Orang-orang membuang kaleng dan membungkusnya setelah makan. Siapa yang akan membersihkannya sekarang?" kata Kanchha.

“Beberapa pendaki hanya membuang sampahnya ke dalam jurang, yang pada saat itu tersembunyi, namun akhirnya akan mengalir ke base camp saat salju mencair dan membawa mereka ke bawah,” tambahnya.

Bagi para Sherpa, Everest adalah dewa yang dipuja oleh komunitasnya. Mereka umumnya melakukan ritual keagamaan sebelum mendaki puncak.

Kanchha Sherpa masih muda ketika bergabung dengan ekspedisi Hillary-Tenzing.

Dia termasuk di antara tiga Sherpa yang pergi ke kamp terakhir di Everest bersama Hillary dan Tenzing. Mereka tidak bisa melangkah lebih jauh karena tidak memiliki izin.

Mereka pertama kali mendengar keberhasilan pendakian tersebut melalui radio, dan kemudian dipertemukan kembali dengan duo pendaki di Kamp 2.

“Kami semua berkumpul di Kamp 2 tetapi tidak ada alkohol jadi kami merayakannya dengan teh dan makanan ringan,” katanya.

“Kami kemudian mengumpulkan apa pun yang kami bisa dan bawa ke base camp,” tambahnya.

Jalur yang mereka buka dari base camp hingga puncak masih digunakan oleh para pendaki hingga kini.

Hanya bagian dari base camp ke Camp 1 di atas Air Terjun Es Khumbu yang tidak stabil yang berubah setiap tahun.

Kanchha Sherpa memiliki empat anak, delapan cucu, dan seorang cicit perempuan berusia 20 bulan. Dia tinggal bersama keluarganya di desa Namche di kaki Gunung tertinggi di dunia, Gunung Everest itu, dimana keluarga tersebut mengelola sebuah hotel kecil yang melayani para trekker dan pendaki. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES