Peristiwa Internasional

Perang Saraf Kubu Presiden dan Mantan Presiden AS Makin Tajam

Selasa, 19 Maret 2024 - 20:39 | 23.97k
Kandidat presiden dari Partai Republik mantan Presiden Donald Trump berbicara pada rapat umum Buckeye Values ​​PAC pada Sabtu (16/3/2024) di Vandalia, Ohio. (FOTO: Japan Today/AP)
Kandidat presiden dari Partai Republik mantan Presiden Donald Trump berbicara pada rapat umum Buckeye Values ​​PAC pada Sabtu (16/3/2024) di Vandalia, Ohio. (FOTO: Japan Today/AP)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAPilpres AS masih akan berlangsung pada bulan November 2024 mendatang, namun perang saraf antara kubu Presiden Joe Biden dengan mantan presiden Donald Trump makin tajam. Terbaru, seperti dilansir Arab News, dalam sebuah wawancara, Senin kemarin, Donald Trump menuduh bahwa orang-orang Yahudi yang memilih Partai Demokrat "membenci Israel" dan membenci agama mereka.

Akibat komentar Donald Trump itu telah memicu badai kritik dari Gedung Putih dan para pemimpin Yahudi. Waktu itu Donald Trump ditanya tentang meningkatnya kritik Partai Demokrat terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas caranya menangani perang di Gaza yang menyebabkan jumlah korban sipil terus meningkat.

Advertisement

"Saya sebenarnya berpikir mereka membenci Israel,"  jawab Trump terhadap mantan ajudannya, Sebastian Gorka.

"Saya pikir mereka membenci Israel. Dan Partai Demokrat membenci Israel," tandasnya.

Donald Trump, yang pekan lalu menjadi calon dari Partai Republik, melanjutkannya dengan tuduhan: "Setiap orang Yahudi yang memilih Demokrat membenci agama mereka. Mereka membenci segala sesuatu tentang Israel dan mereka seharusnya malu karena Israel akan dihancurkan.

Tentu saja komentar tersebut langsung memicu reaksi keras dari Gedung Putih, tim kampanye Presiden Joe Biden, dan para pemimpin Yahudi. Mayoritas warga Amerika keturunan Yahudi mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota Partai Demokrat. Namun Donald Trump sering menuduh mereka tidak loyal, dan melanggengkan apa yang oleh para kritikus disebut sebagai kiasan antisemit. Dari Gedung Putih, tanpa menyebut nama Trump, juru bicara Andrew Bates menyebut komentar tersebut sebagai retorika antisemit yang sangat-sangat ehkeji.

"Seiring meningkatnya kejahatan antisemit dan tindakan kebencian di seluruh dunia, diantaranya adalah serangan paling mematikan yang dilakukan terhadap orang-orang Yahudi sejak Holocaust, para pemimpin mempunyai kewajiban untuk menyebut kebencian dan menyatukan orang Amerika untuk menentangnya," katanya. 

"Tidak ada pembenaran untuk menyebarkan stereotip palsu dan beracun yang mengancam sesama warga negara. Tidak ada," tandasnya lagi.

Tim kampanye Biden menyebutkan, satu-satunya orang yang seharusnya merasa malu di sini adalah justru Donald Trump.

"Trump akan kalah lagi pada bulan November ini, karena warga Amerika muak dengan kebenciannya, serangan pribadi, dan agenda ekstremnya," kata juru bicara kampanye Biden, James Singer.

Jonathan Greenblatt, ketua Liga Anti-Pencemaran Nama Baik mengatakan, menuduh orang Yahudi membenci agama mereka karena mereka mungkin memilih partai tertentu adalah fitnah dan jelas-jelas salah.

"Para pemimpin serius yang peduli dengan aliansi bersejarah AS-Israel harus fokus pada penguatan, bukannya mengurai, dukungan bipartisan terhadap Negara Israel," tulisnya di X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.

Komentar Donald Trump itu muncul saat Joe Biden menghadapi tekanan yang meningkat dari sayap progresif partainya atas dukungan pemerintahannya terhadap Israel dalam serangan balasannya di Gaza. Menurut Kementerian Kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas, lebih dari 31.000 warga Palestina telah dibunuh pasukan Israel sejak Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023 lalu.

Meskipun Joe Biden terus mendukung hak Israel untuk membela diri, namun ia juga sering mengkritik Benjamin Netanyahu. Setelah pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu misalnya, Biden berkata bahwa dia perlu melakukan percakapan “datanglah kepada Yesus” dengan pemimpin Israel.

Dia juga menuduh Netanyahu lebih menyakiti Israel daripada membantu Israel, dengan mengatakan, “dia harus lebih memperhatikan hilangnya nyawa tak berdosa sebagai konsekuensi dari tindakan yang diambil. Donald Trump mempermasalahkan komentar baru-baru ini dari Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, pejabat Yahudi berpangkat tertinggi di AS.

Dalam pidatonya pekan lalu, Schumer dengan tajam mengkritik cara Benjamin Netanyahu menangani perang di Gaza, dan memperingatkan bahwa jumlah korban sipil akan merusak posisi Israel di dunia. Dia juga menyerukan Israel mengadakan pemilu baru.

Meski Gedung Putih secara resmi menjauhkan diri dari komentar Schumer itu, namun pemimpin Partai Demokrat dan sekutu utamanya itu menyuarakan pendapat yang semakin dianut di pemerintahan Biden. Schumer, yang dituduh Trump “sekarang sangat anti-Israel” menanggapinya dengan menuduh Trump mengucapkan kata-kata kasar yang sangat partisan dan penuh kebencian.

"Menjadikan Israel sebagai isu partisan hanya akan merugikan Israel dan hubungan AS-Israel," tulisnya di X.

Pew Research Center melaporkan pada tahun 2021 bahwa orang-orang Yahudi “adalah salah satu kelompok liberal dan Demokrat yang paling konsisten di AS,” dengan 7 dari 10 orang dewasa Yahudi mengidentifikasi atau condong ke Partai Demokrat. Pada tahun 2020, ditemukan bahwa hampir tiga perempat warga Yahudi Amerika tidak menyetujui kinerja Trump sebagai presiden, dan hanya 27% yang memberikan penilaian positif terhadap Trump. Tapi warga Amerika juga semakin kecewa dengan operasi militer Israel di Gaza, menurut survei dari The Associated Press dan NORC Center for Public Affairs Research.

Pada bulan Januari, 50% orang dewasa AS mengatakan respons militer Israel di Jalur Gaza sudah keterlaluan, jumlah itu naik dari 40% pada bulan November. Jumlah tersebut lebih tinggi di kalangan Demokrat, dimana 6 dari 10 di antaranya mengatakan hal yang sama dalam kedua survei. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES