Aliansi Internasional Baru dari Jazirah Arab Siap Antar Pembentukan Negara Palestina

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Arab Saudi pada Rabu (30/10/2024) kemarin menjadi tuan rumah pertemuan pertama “Aliansi Internasional” baru untuk mendesak pembentukan negara Palestina.
Diluncurkan bulan lalu di sela-sela Sidang Umum PBB, Aliansi Internasional untuk Melaksanakan Solusi Dua Negara ini telah menyatukan negara-negara dari Timur Tengah, Eropa, dan sekitarnya.
Advertisement
Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan, hampir 90 negara dan organisasi internasional” mengambil bagian dalam pertemuan dua hari di ibukota Saudi, Riyadh.
"Genosida tengah terjadi dengan tujuan mengusir rakyat Palestina dari tanah mereka, dan ini ditolak oleh Arab Saudi," katanya.
Dalam sambutan pembukaannya, Pangeran Faisal bin Farhan menegaskan kembali posisi Kerajaan dalam mendukung kemerdekaan Palestina dan "hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri dan mengakhiri pendudukan.
"Wilayah ini menyaksikan eskalasi dan kelanjutan agresi Israel terhadap Palestina dan Lebanon," katanya.
"Eskalasi konflik ini secara regional dan mungkin internasional mendesak kita semua untuk mengambil sikap tegas dan segera untuk mengakhiri kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Israel. Hukuman dan solusi parsial tidak lagi cukup," tegasnya seperti dilansir Arab News.
Ia menggambarkan situasi kemanusiaan sebagai “bencana” dan mengecam “blokade total” di Gaza utara.
Israel menolak tuduhan genosida, dan menuduh Hamas beroperasi di antara warga sipil dan menggunakan mereka sebagai tameng manusia.
Tujuan perangnya adalah melenyapkan Hamas serta menyelamatkan 251 sandera yang diculik pada 7 Oktober 2023. Serangan Hamas juga menewaskan sekitar 1.200 orang.
Namun dalam kenyataannya, Israel justru membunuh sebagian besar wanita dan anak-anak di antara 43.000 lebih korban warga Palestina
"Pertemuan di Riyadh diperkirakan akan berfokus pada akses kemanusiaan, badan PBB yang sedang berjuang untuk pengungsi Palestina, dan langkah-langkah untuk memajukan solusi dua negara," kata para diplomat.
"Uni Eropa akan diwakili oleh Sven Koopmans, perwakilan khusus untuk proses perdamaian Timur Tengah," tambah para diplomat.
Amerika Serikat, pendukung utama militer Israel mengirim Hady Amr, perwakilan khusus Departemen Luar Negeri untuk urusan Palestina.
Perang Israel-Hamas telah menghidupkan kembali pembicaraan tentang “solusi dua negara” dimana negara Israel dan negara Palestina akan hidup berdampingan, meskipun para analis mengatakan tujuan tersebut tampaknya semakin sulit dicapai daripada sebelumnya.
Dilansir Times of Israel, pemerintahan sayap kanan Israel pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga menentang keras pembentukan negara Palestina dan sebagian besar warga Israel tetap sangat tidak percaya kepada Palestina setelah puluhan tahun teror, yang berpuncak pada pembantaian 7 Oktober.
Arab Saudi yang pengekspor minyak terbesar di dunia dan penjaga dua tempat suci umat Islam, kini sedang menghentikan sementara pembicaraan yang ditengahi AS mengenai pengakuan Israel setelah perang pecah antara Hamas dan Israel.
Bulan September lalu, penguasa de facto kerajaan, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, mengatakan negara Palestina yang merdeka merupakan syarat normalisasi. Pangeran Faisal menegaskan kembali posisi itu pada hari Rabu, kemarin.
Komisaris jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), Philippe Lazzarini juga hadir dalam KTT itu "Pengesahan Knesset yang menentang UNRWA minggu ini sangat keterlaluan dan menciptakan preseden yang berbahaya," kata Lazzarini dalam pidatonya.
"Seruan pemerintah Israel untuk membubarkan UNRWA telah dijadikan tujuan perang di Gaza, yang bertentangan dengan resolusi Majelis Umum dan Dewan Sekretaris serta Mahkamah Internasional, termasuk dengan rencana untuk mengganti UNRWA di Yerusalem Timur dengan pemukiman," tambahnya.
Menggambarkan tindakan Israel sebagai upaya terencana untuk secara sepihak mengubah parameter lama demi resolusi damai dalam konflik Israel-Palestina, Lazzarini memperingatkan implikasi RUU tersebut terhadap stabilitas regional serta perdamaian dan keamanan internasional.
"Selama puluhan tahun, warga Palestina di wilayah Palestina yang diduduki telah mengalami penolakan sistematis terhadap hak-hak dasar, segregasi, blokade yang melumpuhkan di Gaza, perluasan permukiman agresif di Tepi Barat, dan siklus konflik yang berulang. Setahun Ini Gaza telah hancur total," katanya.
Sebanyak 43.000 orang dilaporkan meninggal dunia dalam kurun waktu tersebut, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Mayoritas penduduk telah berulang kali mengungsi.
"Dua juta orang telah terjebak dalam neraka hidup selama lebih dari 12 bulan," tambah Lazzarini.
Sebagian besar penduduk kini terhimpit di 10 persen wilayah Jalur Gaza, dimana mereka harus menanggung kondisi kehidupan yang sangat buruk.
Di Gaza Utara, 100.000 orang terkepung, menunggu kematian akibat serangan udara terus menerus dan kelaparan akibat kebiadaban tentara Israel.
“Sementara itu, wilayah Tepi Barat yang diduduki berada di ambang eskalasi konflik. Kekerasan pemukim dan serangan militer oleh pasukan keamanan Israel merupakan kenyataan sehari-hari. Infrastruktur publik dihancurkan secara sistematis selama operasi militer, sehingga menimbulkan hukuman kolektif bagi warga Palestina. Perekonomian berada di ambang kehancuran dan keputusasaan semakin meningkat," kata Lazzarini lagi.
Menekankan pentingnya operasi UNRWA, ia mengatakan bahwa selama 75 tahun badan tersebut telah menjadi mercusuar harapan bagi para pengungsi Palestina, memberi mereka akses ke hak-hak dasar seperti pendidikan dan perawatan kesehatan.
"Kami telah mendidik banyak generasi pelajar, banyak diantaranya telah mencapai kesuksesan luar biasa di kawasan ini dan di seluruh dunia," ujarnya.
Lazzarini mengatakan, bahwa lebih dari 600.000 anak di Gaza tidak bersekolah dan kegagalan untuk kembali ke lingkungan belajar yang aman.
Ini berarti mengorbankan seluruh generasi dan membuka jalan bagi lebih banyak kebencian dan pemusnahan di masa depan.
"Pada masa perang, UNRWA mampu berubah dengan cepat menjadi mesin kemanusiaan. Dalam sekejap mata, guru berubah menjadi manajer tempat penampungan dan klinik berubah menjadi ruang gawat darurat selama sistem perawatan kesehatan hampir runtuh total," katanya.
"Meskipun demikian, dan mungkin karena itu, kami telah menghadapi harga yang mahal," ujar Lazzarini.
Ia menambahkan, bahwa sedikitnya 247 personil UNRWA dibunuh, banyak diantaranya saat bersama keluarga mereka, dan hampir 200 bangunan UNRWA juga dihancurkan yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia saat mencari perlindungan PBB.
Konvoi bantuan yang diberi label jelas pun telah menjadi sasaran dan dijarah oleh pelaku bersenjata.
"Pembatasan masuknya pasokan penyelamat ke Gaza berarti truk bantuan terbengkalai di perbatasan sementara orang-orang kelaparan beberapa kilometer jauhnya. Mari kita perjelas, serangan terhadap UNRWA adalah serangan terhadap sistem berbasis aturan yang lebih luas yang diwarisi dari Perang Dunia II dan akan melemahkan sistem global dan multilateral," kata dia.
Lazzarini menutup sambutannya dengan permohonan tiga bagian kepada anggota Aliansi Global baru ini.
Pertama adalah menggunakan semua alat politik, diplomatik, dan hukum yang tersedia untuk menolak upaya Israel untuk membubarkan UNRWA dan melemahkan multilateralisme dan pekerjaan PBB.
Kedua, memberikan dukungan politik dan finansial untuk mengamankan tujuan UNRWA selama masa sulit menuju gencatan senjata dan hari-hari setelahnya.
Ketiga, menemukan jalan yang layak menuju solusi dua negara melalui Aliansi Global ini untuk menyelesaikan krisis pengungsi Palestina.
“Jika sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan mandat majelis umum bisa runtuh karena satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang tatanan internasional, lalu apa? Apa yang masih tersisa?” tegas dia. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |