Hamas Tegas Inginkan Kesepakatan 2 Juli sebagai Patokan Penghentian Konflik
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pemimpin Gerakan Perlawanan Islam Hamas, Osama Hamdan tegas mengatakan, bahwa perjanjian 2 Juli lalu adalah kunci untuk menghentikan konflik, perang dan agresi di Jalur Gaza serta pengembalian sandera.
Hamdan menyampaikan bahwa Israel memikul tanggung jawab atas kegagalan upaya internasional untuk memulihkan ketenangan di Jalur Gaza.
Advertisement
Hamdan mewakili Hamas menyampaikan hal itu mengenai perkembangan terkini agresi Israel dan perang genosida di Jalur Gaza.
Dilansir Al Jazeera. Hamdan menegaskan, bahwa Israel masih melanjutkan agresinya tanpa memperhatikan mediator, melakukan genosida dengan memaksa Palestina untuk mempertahankan kepentingan mereka.
Dikatakan, bahwa posisinya dalam menyikapi secara positif setiap usulan dan gagasan yang menjamin penghentian agresi, penarikan pendudukan dari Gaza, kembalinya pengungsi, serta bantuan bagi masyarakat Jalur Gaza.
Dalam pernyataannya, pemerintah Amerika Serikat dan komunitas internasional bertanggung jawab secara politis dan moral atas pembantaian yang terus dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina.
Ia juga menekankan bahwa perang yang dilancarkan oleh Israel terhadap rumah sakit di Jalur Gaza utara adalah kejahatan genosida dan pelanggaran terhadap semua peraturan-peraturan internasional.
Pada tanggal 2 Juli 2024 lalu, Hamas sebenarnya telah menyetujui proposal yang diajukan oleh para mediator berdasarkan visi Presiden AS, Joe Biden.
Namun hal itu kemudian ditentang oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang kemudian pemimpin zionis ini menambahkan persyaratan baru ke dalamnya.
Soal pemutusan hubungan dengan UNRWA, Hamdan menilai bahwa ini adalah upaya untuk menghapus hak-hak pengungsi Palestina dan menghapus perjuangan mereka.
Dia menegaskan bahwa serangan teroris Israel yang terus berlanjut oleh pemukim di Tepi Barat memerlukan peningkatan perlawanan.
Kepada rakyat Palestina diserukan untuk menghadapi kejahatan yang dilakukan para pemukim itu serta menggagalkan rencana pemukiman pendudukan di Tepi Barat.
Pemusnahan Rakyat Palestina
Hamdan meminta Mahkamah Internasional untuk mengadili pejabat Israel atas kejahatan mereka. Ditekankan, bahwa Palestina akan mengambil langkah-langkah nasional untuk menghadapi tantangan tersebut.
Dikatakan, Hamas akan mengadakan pertemuan dengan gerakan Fatah atas undangan Mesir untuk membahas mekanisme koordinasi upaya nasional itu.
Soal skandal pembocoran kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan perusakan dokumen menunjukkan, bahwa agresi terhadap Gaza memang disengaja dan mencerminkan kebijakan pemerintahan Netanyahu yang berbasis pada pemusnahan rakyat Palestina.
Forum Sandera
Sementara itu, sebuah kelompok kampanye sandera Gaza menyerukan penyelidikan atas dugaan kebocoran dokumen rahasia oleh seorang mantan ajudan perdana menteri Israel, yang diduga telah merusak upaya untuk mengamankan pembebasan sandera.
Minggu kemarin, sebuah pengadilan di Israel mengumumkan, bahwa Eliezer Feldstein, mantan ajudan Benjamin Netanyahu, telah ditahan bersama tiga orang lainnya karena diduga membocorkan dokumen ke media asing.
Akibat skandal itu, pihak oposisi mempertanyakan apakah Netanyahu terlibat dalam kebocoran tersebut, namun pihak kantor Netanyahu membantahnya.
"Keluarga sandera menuntut penyelidikan terhadap semua yang diduga melakukan sabotase dan merusak keamanan negara,” kata Forum Sandera dan Keluarga Hilang dalam sebuah pernyataan.
"Tindakan seperti itu, terutama selama masa perang, membahayakan para sandera, membahayakan peluang mereka untuk kembali dan meninggalkan mereka dengan risiko dibunuh oleh Hamas," kata mereka.
Forum tersebut mewakili sebagian besar keluarga dari 97 orang yang masih disandera di Gaza setelah mereka ditangkap dalam serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tanggal 7 Oktober 2023.
"Kecurigaan menunjukkan, bahwa orang-orang yang terkait dengan perdana menteri telah melakukan penipuan terbesar dalam sejarah negara ini," kata forum tersebut.
"Ini adalah titik terendah moral yang tidak ada duanya. Ini adalah pukulan telak bagi kepercayaan yang tersisa antara pemerintah dan warga negaranya," tambahnya.
Para kritikus telah lama menuduh Netanyahu mengulur-ulur negosiasi gencatan senjata dan memperpanjang perang untuk menenangkan mitra koalisi sayap kanannya.
Badan keamanan dalam negeri Israel Shin Bet dan tentara meluncurkan penyelidikan atas pelanggaran tersebut pada bulan September setelah dua surat kabar, mingguan Inggris The Jewish Chronicle dan tabloid Bild Jerman menerbitkan artikel berdasarkan dokumen militer rahasia tersebut.
Satu artikel menyatakan, bahwa pemimpin Hamas saat itu Yahya Sinwar, yang kemudian dibunuh oleh Israel dan para sandera di Gaza akan diselundupkan ke Mesir melalui koridor Philadelphia di sepanjang perbatasan Gaza-Mesir.
Yang lainnya didasarkan pada apa yang dikatakan sebagai memo internal pimpinan Hamas tentang strategi Sinwar untuk menghambat pembicaraan menuju pembebasan para sandera.
Pengadilan Israel mengatakan, bahwa penerbitan dokumen tersebut berisiko menyebabkan "kerugian serius bagi keamanan negara."
"Akibatnya, kemampuan badan keamanan untuk mencapai tujuan pembebasan sandera, sebagai bagian dari tujuan perang bisa terganggu," imbuhnya.
Sementara itu, pada Senin (4/11/024) tadi malam Netanyahu meminta jaksa agung untuk mulai menyelidiki dugaan kebocoran lain dari rapat kabinet selama perang.
"Sejak awal perang, kami telah menyaksikan banjir kebocoran serius dan pengungkapan rahasia negara yang tiada henti," katanya dalam surat kepada jaksa agung, yang diunggah di saluran Telegramnya.
"Oleh karena itu, saya mengimbau anda untuk segera memerintahkan penyelidikan kebocoran secara umum," tulis Netanyahu.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ronny Wicaksono |
Publisher | : Rizal Dani |