Eropa dan Amerika Serikat Dalam Dibayangi Perang Dagang
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Eropa dan Amerika Serikat sedang dibayangi perang dagang setelah Donald Trump kembali masuk Gedung Putih sebagai Presiden AS.
Donald Trump memang telah berjanji akan mengenakan pajak tambahan dan tarif bea cukai hingga 10% pada impor Amerika dari Uni Eropa, dan menekan Uni Eropa untuk mengimpor lebih banyak produk ekspor Amerika.
Advertisement
Para pemimpin Eropa yang mengadakan pertemuan di Budapest, ibukota Hongaria, Jumat (22/11/2024) kemarin, mencapai konsensus perlunya meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas seiring dengan semakin dekatnya kebijakan perlindungan perdagangan "America First".
Dilansir Al Jazeera, para pemimpin Eropa khawatir akan terjadi perang dagang dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih.
Mereka kemudian menandatangani sebuah deklarasi untuk memperkuat daya saing blok tersebut yang semakin memburuk.
Hal itu dinilai lebih mendesak karena ancaman kebijakan perdagangan proteksionis “America First” yang dijanjikan oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump itu.
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen berdiri di hadapan wartawan pada hari Jumat, dan ia menekankan bahwa blok tersebut memiliki banyak hambatan terhadap inovasi dan harus secara signifikan mengurangi birokrasi, terutama untuk perusahaan rintisan, meningkatkan investasi, memfasilitasi akses terhadap modal, serta meningkatkan produktivitas.
Para pejabat Eropa kecewa dengan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Bukan hanya karena ketidaksepakatannya dengan NATO dan ambivalensinya terhadap Ukraina, namun juga konsekuensi ekonomi dari ancamannya untuk membuat Uni Eropa “membayar harga yang mahal” karena tidak membeli cukup barang impor dari Amerika.
Bahkan Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni menggambarkan besarnya ketakutan yang melanda perekonomian Eropa dengan kembalinya Trump ke Gedung Putih, yang kemungkinannya akan menerapkan ancamannya pengenaan bea masuk sebesar 10% pada impor yang berasal dari Eropa.
"Jangan tanya apa yang Amerika bisa lakukan untuk anda, tapi tanyakan apa yang harus dilakukan Eropa untuk dirinya sendiri. Eropa harus menemukan keseimbangan. Kami tahu apa yang harus kami lakukan," kata Meloni.
Dalam sebuah laporan pada hari Jumat, surat kabar Inggris, The Guardian melaporkan, bahwa dasar diskusi para pemimpin Uni Eropa itu didasarkan pada laporan mantan Perdana Menteri Italia dan Presiden Bank Sentral Eropa, Mario Draghi, yang memperingatkan bahwa blok tersebut menghadapi "perlambatan dan penderitaan kemunduran" bila tidak segera mengakhiri stagnasi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Draghi mengatakan, pandemi Corona dan perang Ukraina telah mengubah aturan perdagangan internasional, dan menyerukan investasi tambahan hingga 800 miliar euro setiap tahunnya dalam perekonomian blok tersebut. Ini setara dengan sekitar 5% dari output ekonomi tahunan Uni Eropa.
Negara-negara Eropa juga khawatir, selain perang dagang juga diturunkannya pendanaan AS untuk NATO, kemungkinan peningkatan pendanaan untuk Ukraina dalam perangnya melawan Rusia, serta kemungkinan Donald Trump menarik diri dari pendanaan perang.
Kekhawatiran itu secara eksplisit diungkapkan Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban.
Ia menambahkan, Eropa tidak bisa membiayai perang ini sendirian. Beberapa pihak masih ingin terus mengirimkan sejumlah besar uang untuk kekalahan perang ini, namun banyak dari mereka yang dengan hati-hati berpendapat bahwa kami harus "beradaptasi dengan situasi baru yang semakin meningkat".
Data Departemen Perdagangan AS menunjukkan, total perdagangan barang dan jasa dengan Uni Eropa mencapai $1,36 triliun pada tahun 2023, dengan ekspor AS senilai $620 miliar dan impor senilai $743,3 miliar.
Siap Merespons
Duta Besar Uni Eropa untuk Amerika Serikat, Jovita Neliupsiene mengumumkan, bahwa Uni Eropa "siap merespons" jika terjadi ketegangan perdagangan baru dengan Amerika Serikat.
Jovita Neliupsiene mengatakan dalam konferensi pers, bahwa UE berada dalam masa transisi untuk Brussels dan Washington. "Dan kami memanfaatkan momen ini untuk fokus pada isu-isu yang kami yakini bisa kami kerjakan dengan pemerintahan baru AS," ujarnya.
Dia menekankan, bisa saja ketegangan terjadi di Amerika Serikat, dan jika itu muncul di tingkat perdagangan, Uni Eropa siap meresponsnya.
"Sederhananya. Jika dia (Donald Trump) mengenakan tarif, kami akan meresponsnya. Namun kami harus menghadapinya seperti mitra Amerika lainnya, berdialog dan memastikan kami bisa mencapai agenda bersama," kata Neliupsiene.
Neliupsiene berharap akan ada agenda positif jika terjadi ketegangan. Ia mengingatkan, bahwa UE bermaksud membangun landasan yang kuat untuk kelanjutan kerja sama transatlantik, baik yang terkait dengan masalah perdagangan, keamanan, maupun pajak.
Presiden terpilih AS itu tidak menyembunyikan keinginannya untuk mengenakan kembali bea masuk sebesar 10 hingga 20% pada semua produk yang masuk ke Amerika Serikat, mengingat hal tersebut merupakan alat untuk negosiasi perdagangan di masa depan tetapi juga merupakan sarana untuk membiayai pemotongan pajak besar-besaran yang ingin ia laksanakan.
Perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Eropa mewakili lebih dari 40% PDB global dan akan terkena dampak penerapan tarif.
Uni Eropa adalah mitra dagang Amerika Serikat yang terbesar dari segi nilai, dan defisit perdagangan Amerika Serikat dengan Uni Eropa dianggap sebagai yang terbesar kedua dari segi jumlah, setelah China.
Neliupsiene mengatakan bahwa Amerika Serikat perlu bekerja sama dengan Uni Eropa dan mitra dagang sekutu lainnya untuk secara efektif menghadapi praktik ekonomi Tiongkok yang berdampak negatif pada pasar.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |