Peristiwa Internasional

Kardinal Ignatius Suharyo dan Harapan Indonesia dalam Konklaf Pemilihan Paus Baru

Kamis, 08 Mei 2025 - 12:47 | 27.93k
Kardinal Ignatius Suharyo dari Indonesia mencuri perhatian dalam Konklaf Vatikan 2025. (Foto: Keuskupan Agung Semarang)
Kardinal Ignatius Suharyo dari Indonesia mencuri perhatian dalam Konklaf Vatikan 2025. (Foto: Keuskupan Agung Semarang)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketika asap hitam kembali membubung dari cerobong Kapel Sistina pada Rabu (7/5/2025), dunia mengetahui bahwa para kardinal belum mencapai mufakat dalam memilih Paus baru. Di balik tirai konklaf yang penuh misteri, satu nama dari Asia Tenggara diam-diam menyita perhatian: Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, Uskup Agung Jakarta yang dikenal karena visinya yang moderat dan inklusif.

Kardinal Suharyo, lahir di Yogyakarta pada 9 Juli 1950, merupakan tokoh utama dalam Gereja Katolik Indonesia. Diangkat sebagai kardinal oleh Paus Fransiskus pada 2019, ia menjadi simbol penting dari Gereja Katolik di wilayah mayoritas Muslim terbesar di dunia. Sosoknya merepresentasikan wajah Asia yang damai, dialogis, dan terbuka terhadap perubahan.

Advertisement

“Gereja harus menjadi saksi kasih dan keadilan, bukan sekadar institusi ibadah,” ujar Suharyo dalam wawancara dengan UCA News, menegaskan misi sosial gereja yang menjadi ciri khasnya.

Profil Pemimpin Spiritualitas Kontekstual

Ignatius Suharyo menyelesaikan pendidikan teologinya di Universitas Urbaniana Roma dan meraih gelar doktor di bidang Kitab Suci. Karier gerejanya dimulai sebagai dosen, lalu diangkat menjadi Uskup Agung Semarang, dan akhirnya memimpin Keuskupan Agung Jakarta sejak 2010. Sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) selama dua periode, ia dikenal mendorong pendekatan gereja yang kontekstual dan merakyat.

Dalam pidato-pidatonya, Suharyo sering menekankan pentingnya gereja yang mampu berbicara dalam konteks sosial Indonesia—berdampingan dengan umat Muslim, Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan lainnya. Ini menjadikannya sebagai suara penting dalam isu toleransi dan kerukunan antarumat beragama di kawasan Asia.

Nama yang Muncul dalam Diam

Konklaf pemilihan Paus 2025 menghadirkan dinamika unik. Sebanyak 133 kardinal hadir, jauh lebih banyak dibandingkan konklaf 2013. Keanekaragaman budaya, bahasa, dan pandangan membuat proses ini lebih kompleks dan sulit ditebak.

“Secara umum lebih sulit untuk memprediksi hasil konklaf saat ini karena Dewan Kardinal lebih heterogen secara nasional dan budaya,” ujar sejarawan Gereja Jorg Ernesti, seperti dikutip DW, (4/5/2025).

Media Katolik Eropa seperti La Croix enggan menyebutkan kandidat secara eksplisit, namun menyatakan bahwa nama-nama dari Asia dan Afrika semakin dipertimbangkan, seiring dengan pertumbuhan umat Katolik di kedua kawasan tersebut. Dalam konteks ini, Ignatius Suharyo menjadi figur yang dibicarakan di kalangan pengamat dan umat Katolik Asia.

Pemimpin Dialog, Bukan Polemik

Di dalam negeri, Suharyo dikenal sebagai tokoh gereja yang menjauhi kontroversi. Ia aktif menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh lintas iman seperti KH Said Aqil Siradj dan Din Syamsuddin, serta mendukung pelatihan multikultural bagi para imam muda.

Ia juga sering menyuarakan keprihatinannya atas isu-isu sosial di Indonesia, mulai dari ketimpangan ekonomi hingga intoleransi.

“Tugas kita bukan hanya membangun gereja fisik, tapi membangun masyarakat yang adil,” kata Suharyo dalam homili Natal di Gereja Katedral Jakarta pada 2022.

Di mata banyak umat Katolik, gaya kepemimpinan Suharyo yang lembut tapi tegas, serta visinya tentang gereja yang hidup berdampingan secara harmonis, membuatnya menjadi simbol alternatif dari Vatikan yang selama ini identik dengan Eropa dan konservatisme.

Mengapa Ia Dinilai Potensial Jadi Paus?

Beberapa faktor menjadikan Suharyo kandidat yang diperhitungkan meski namanya tidak muncul secara terbuka. Pertama, pengalamannya di Kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa Vatikan memberinya akses dan pengaruh di tingkat internasional. Kedua, kedekatannya dengan Paus Fransiskus—yang selama masa jabatannya mendorong gereja yang inklusif, antikemapanan, dan berpihak pada kaum pinggiran—menjadi poin plus tersendiri.

Ketiga, meski berusia 74 tahun, Suharyo masih tergolong aktif dan sehat. Ia menguasai beberapa bahasa internasional, termasuk Latin, Jerman, dan Italia, serta dikenal memiliki kemampuan diplomasi yang mumpuni—kualitas penting bagi pemimpin spiritual 1,3 miliar umat Katolik sedunia.

“Pemilihan Paus kali ini bisa menjadi momen perubahan simbolik, dari gereja yang Euro-sentris menjadi gereja dunia,” tulis kolumnis La Croix International dalam edisi pekan ini.

Penanda Arah Baru Gereja Dunia

Jika Suharyo terpilih, ia akan menjadi Paus pertama dari Indonesia dan kedua dari Asia setelah Paus Gregorius III dari Suriah pada abad ke-8. Pemilihannya tidak hanya menjadi kebanggaan nasional, tetapi juga membawa pesan kuat bahwa gereja Katolik terbuka terhadap wajah-wajah baru dari belahan dunia yang selama ini berada di pinggiran struktur kekuasaan gereja.

Lebih dari sekadar representasi Asia, sosok Suharyo menandai harapan baru bagi gereja yang lebih transformatif, terbuka, dan berpihak pada kemanusiaan.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES