Tasbih, Tongkat, NU, dan KHR As'ad Syamsul Arifin
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Momentum akbar, 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, yang menjadi hari lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tak bisa terlepas dari tasbih, kalimat Ya Jabbar, Ya Qahhar, tongkat serta sosok KHR As'ad Syamsul Arifin.
Dikutip dari buku yang ditulis Syamsul A. Hadi berjudul Khariama Kiai As'ad di Mata Umat, tahun 1924, Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, dimintai persetujuannya oleh kelompok diskusi Taswirul Afkar untuk mendirikan sebuah organisasi atau jam'iyah.
Advertisement
Sebelum memutuskannya, kiai yang saat itu menjabat sebagai pengasuh dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, itu meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah terlebih dahulu.
Setelah mengerjakan shalat istikharah, petunjuk yang diminta tak kunjung datang. Hal itu membuat Kiai Hasyim dirundung gelisah.
Dalam lubuk hati Kiai Hasyim terlintas wajah gurunya, Syaikhona Kholil bin Abdul Latif. Mbah Hasyim pun bermaksud untuk sowan ke Bangkalan, Madura, Jawa Timur, tempat tinggal sang guru.
Namun, dengan ilmu kewalian yang dimiliki Kiai Kholil, terlebih dahulu sudah mengetahui kegelisahan yang dialami Kiai Hasyim.
Kiai Kholil pun segera mengutus salah satu santrinya yang bernama As'ad. Awalnya, pemuda bernama As'ad itu diberikan amanah oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim, di Tebuireng, Jombang.
Setibanya di Tebuireng, As'ad juga dipesani agar membacakan Alquran Surat Thaha ayat 17-23 kepada Kiai Hasyim.
Saat kiai Hasyim menerima kedatangan As'ad dan mendengar ayat tersebut, hati Kiai Hasyim langsung bergetar. "Keinginanku untuk membentuk Jamiyah agaknya akan tercapai," ujar Kiai Hasyim saat itu sambil meneteskan air mata.
Namun, kedatangan As'ad yang pertama itu, tampaknya belum membuat Kiai Hasyim mantap. Sehingga satu tahun kemudian kiai Kholil mengutus kembali As'ad untuk menemui Kiai Hasyim di Tebuireng.
Perintah kedua dari Kiai Kholil, As'ad diamanahi sebuah tasbih untuk disampaikan kepada Kiai Hasyim. Saat membawa tasbih itu, Kiai Kholil meminta As'ad untuk mengamalkan sebuah wirid; "Ya Jabbar, Ya Qahhar". Wirid kalimat itu harus dibaca sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng sejauh kurang lebih 150 km.
Setiba di Ponpes Tebuireng, As'ad langsung menyampaikan amanah dari Kiai Kholil untuk Kiai Hasyim. "Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini," ucap As'ad saat bertemu Kiai Hasyim sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan di lehernya.
Kehadiran As'ad kedua kalinya itu langsung membuat Kiai Hasyim benar-benar mantap untuk mendirikan organisasi yang akhirnya diberi nama Nahdlatul Ulama.
Mengapa? Karena Kiai Hasyim sudah menangkap isyarat bahwa Kiai Kholil sebagai gurunya, tidak keberatan jika ia dan sahabat-sahabatnya mendirikan organisasi. "Ini jawaban yang saya nanti-nantikan selama ini," kata Hasyim.
Begitu sedikit kisah peran dan perjuangan sosok KHR As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, masa mudanya, terhadap cikal bakal pendirian Nahdlatul Ulama.
Pada Selasa 19 Mei 2015 lalu, sosok almarhum KHR As'ad Syamsul Arifin, diusulkan mendapat gelar Pahlawan Nasional oleh Bupati Situbondo. Upaya tersebut langsung mendapat dukungan dari pemerintah provinsi Jawa Timur.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur terus mengupayakan agar gelar Pahlawan Nasional diberikan tahun 2015. Namun, upaya tersebut belum terealisasi.
Baru pada tahun 2016, bertepatan dengan 10 November, yakni Hari Pahlawan, gelar Pahlawan Nasional akan diberikan kepada almarhum KHR As'ad Syamsul Arifin.
Sosok Kiai As'ad memang sudah sangat layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Karena Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, itu tidak hanya berperan sebagai mediator berdirinya Nahdlatul Ulama.
Namun, sosok kiai As'ad juga terlibat langsung dalam perjuangan melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, perjuangan dan jasa Kiai As'ad tak terhitung dalam pertempuran memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Terutama di daerah Jawa Timur.
Sedikit mengenal sosok Kiai As’ad, ia lahir pada tahun 1897 di Mekkah dan meninggal 4 Agustus 1990 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo.
Di kalangan Nahdlatul Ulama, kiai As’ad adalah sosok ulama kharismatik. Jabatan terakhir di NU adalah sebagai Dewan Penasihat Pengurus Besar Nahdlatu Ulama.
Dalam catatan sejarah NU, sosok kiai As’ad tak akan pernah terlupa, karena ia menjadi menjadi salah satu penggagas keputusan untuk mengembalikan NU ke khittah pada Muktamar NU ke-27 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Selain itu, kiai As'ad adalah komandan Laskar Sabilillah yang aktif turut berperang melawan penjajahan Belanda.
Disarikan dari rekaman pidato asli kiai As'ad yang berbahasa Madura, wirid yang harus dibaca sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng dan harus disampaikan ke kiai Hasyim bersama tasbih, yakni wirid "Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar".
"Barang siapa yang berani ke Jamiyatul Ulama (saat ini bernama NU) akan hancur," tegas kiai As'ad saat itu.
"Tahun 1925 kiai Kholil wafat, tepatnya pada tanggal 29 bulan Ramadhan. Akhirnya, pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jamiyah Nahdlatul Ulama," tutup cerita kiai As'ad dalam pidatonya. Melihat jejak perjuangannya, beliau sangat pantas menyandang sebagai Pahlawan Nasional. Selamat Hari Pahlawan Nasional. (*)
* Pemred TIMES Indonesia Network
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rochmat Shobirin |