Peristiwa Nasional

'Perang Topat', Perang untuk Harmoni

Rabu, 28 Juni 2017 - 09:30 | 76.76k
Tradisi Perang Topat. (Foto: Kompas)
Tradisi Perang Topat. (Foto: Kompas)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Perang Topat” atau perang ketupat adalah bentuk tradisi hidup berdampingan umat beragama secara harmoni warisan leluhur suku Sasak (nama suku di pulau Lombok) dan suku Bali.

Warisan budaya ini telah ada sejak 1759, dan hingga kini masih terpelihara dengan baik. Di sebuah kecamatan bernama Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) umat Islam dan Hindu, saling memupuk jalinan persaudaraan meskipun berbeda keyakinan. Salah satu caranya adalah dengan melakukan ritual “Perang Topat” atau perang ketupat.

Advertisement

Acara ini dipusatkan di Pura Lingsar yang dibangun oleh Raja Anak Agung Ngurah dari Kerajaan Karang Asem, Bali. Pura Lingsar dibangun di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, berjarak kurang lebih sembilan kilometer dari Kota Mataram, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pura Lingsar merupakan adalah kompleks bangunan persembahyangan yang sangat unik. Selain sebagai pura tempat persembahyangan umat Hindu, di kompleks pura juga terdapat bangunan yang diberi nama “Kemalik” sebuah tempat yang dikeramatkan oleh sebagian orang Islam suku Sasak.

Ritual “Perang Topat” digelar setiap tahun pada bulan Purnama Sasih ke enam menurut Kalender Bali dan ke pitu (tujuh) menurut kalender Sasak. Sebelum peperangan dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Pujawali. Upacara ini adalah upacara persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya bahwa segala sesuatu sesungguhnya menjadi milik yang Kuasa.

Usai prosesi Pujawali, barulah “Perang Topat” dimulai.

Ketupat sebesar butir telur yang dipergunakan terlebih dahulu diarak oleh iring-iringan “Batek Baris” yakni belasan pasukan berpakaian ala kompeni Belanda, lengkap dengan senapan.

“Batek Baris” ini berada di barisan depan mengawal puluhan kaum ibu yang membawa ribuan ketupat dan sesajen dalam bentuk bunga dan buah-buahan menuju “Kemalik”.

Ritual doa di “Kemalik” usai ketika rara’ kembang waru (gugur bunga waru) sekitar pukul 17.00 WITA. Pada waktu inilah warga saling melempar dengan menggunakan ribuan ketupat berukuran sebesar butir telur yang dibuat warga desa.

Berbagai hal yang harus tersedia agar “Perang Topat” berjalan sesuai dengan warisan leluhur yakni rombong, sesaji, kebun odek, lamak, momot, kerbau dan ketupat.

Rombong atau lumbung kecil berisi beras ketan sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan sosial, sedangkan sesaji (sajian) berupa dulang berjumlah sembilan buah yang berisi nasi yang mengandung arti sebagai lambang kesuburan alam dan kemakmuran rakyat.

Kebun odek atau kebun mini terbuat dari buah kelapa hijau yang sudah tua yang dipangkas ujungnya sampai rata kemudian diatas daging kelapa ini ditancap sembilan batang bambu yang panjangnya 20 centimeter dan 30 centimeter dan ditancapkan secara berselang-seling.

Kebun odek ini melambangkan kesuburan kebun atau tanah yang dipenuhi dengan batang pohon yang lebat dan hijau untuk kemakmuran rakyat, di dalam kebon odek ini terdapat berbagai macam buah-buahan sebagai tanda kesuburan.

Lamak atau alas yaitu tikar dari pandan. Tikar ini digulung dan didalamnya diletakkan sajadah serta alat-alat shalat untuk lelaki dan perempuan seperti sarung, baju koko, peci, rukuh dan mukenah.

Di atas gulungan tikar tersebut diletakkan kitab suci Al Quran yang ditempatkan pada “sogan-sogan” yaitu peti yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat tertutup. Hal ini mengandung makna mengingatkan umat Islam agar tidak lupa menjalankan ibadah shalat lima waktu dalam sehari semalam.

Momot yaitu sebuah botol berukuran kurang lebih satu liter dalam keadaan kosong ditutup rapat, disegel dan dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan kuat. Hal ini melambangkan kehidupan yang kekal di alam akhirat.

Kelengkapan keenam yakni kerbau yang dipergunakan ketika napak tilas mengelilingi pura. Ini melambangkan bekal yang dibawa oleh Syekh Kiai H. Abdul Malik sewaktu berdakwah di daerah Lingsar dan sekitarnya. Kemudian kerbau ini disembelih untuk dimakan bersama peserta napak tilas dari suku Sasak dan masyarakat Hindu.

Terakhir adalah ketupat yang digunakan warga untuk saling lempar. Jumlah ketupat mencapai ribuan dan jumlah ini harus kelipatan angka sembilan yang melambangkan angka keramat dan menunjukkan Walisongo yang berjumlah sembilan orang.

Topat yang dipergunakan untuk saling melempar tersebut biasanya dibawa pulang untuk ditabur di sawah pada malam hari disertai doa permohonan kepada Tuhan agar sawah petani diberi kesuburan dan hasilnya melimpah.

Dalam perkembangannya, ritual “Perang Topat” tidak hanya menjadi milik warga di Pulau Lombok, tetapi juga milik warga dari berbagai negara.

Tradisi “Perang Topat” ini jadi contoh penting bagi negara lain bahwa keharmonisan antarumat beragama di Lombok sudah ada sejak lama di Lombok. Perbedaan bukan modal perpecahan tapi modal penting untuk keharmonisan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : Antara News

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES