Melihat Sisi Lain Orang Amerika Melalui Kehidupan Kaum Amish

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Kalau anda membayangkan orang Amerika itu serba modern, life style masyarakatnya yang bebas nilai dan kriminalitas yang tinggi. Berarti anda sama salahnya dengan saya.”
Itulah ungkapan yang disampaikan Madzkur Damiri, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember yang saat ini berada di Amerika Serikat kepada TIMES Indonesia via WhatsApp.
Advertisement
Asumsi tentang kehidupan orang Amerika yang diperoleh aktivis PMII ini dari film-film Barat (Hollywood), terbantahkan ketika Madzkur berkunjung ke Weavertown Beachy Amish Mennonite Churh di Bird in Hand Pennsylvania. Kunjungan ini dilakukan di sela-sela kegiatan Study of U.S Institute, Religious and Pularalism Dialogue, di Philadelphia, Amerika Serikat.
Madzkur Damiri bersama dengan anak-anak dan keluarga Amish di Amerika
Menurut pria asal Bondowoso ini, perkampungan orang Amerika yang dikunjunginya persis seperti kondisi desa di tanah Jawa. Tanahnya subur dan sejauh mata memandang hijau ranau dengan pertanian yang didominasi tanaman jagung. Hanya saja, di sini lebih tertata antara lahan pertanian dengan pemukiman).
“Pemukiman mereka cenderung terpisah dengan komunitas lain. Supaya bisa memprotek nilai-nilai budaya keagamaan masyarakat yang mereka anut,” jelas Madzkur.
Ada banyak hal yang unik dan menarik yang dilihat Madzkur di komunitas ini. Mereka membatasi penggunaan teknologi modern seperti listrik, mobil, dan telpon. Bahkan menurutnya, ada yang menolak teknologi sama sekali.
“Untuk transportasi mereka tetap mempertahankan kereta kuda yang khas. Mereka juga tidak mau masuk militer dan tidak mau menerima bantuan keuangan dari pemerintah dalam bentuk apapun,” tuturnya.
Meski demikian, sambung Madzkur, kehidupan mereka sangat sejahtera dengan mata pencaharian bertani, berternak dan sebagian menjadi tukang bangunan.
Para perempuan disini terikat dengan tata aturan berpakaian. Tidak boleh memakai pakaian ketat dan buka-bukaan. Sehingga tiap hari mereka memakai baju longgar dan panjang (seperti abaya atau jubah).
Para lelaki dewasa, khususnya yang sudah menikah diharuskan memelihara jenggot. Dan satu keluarga rata-rata memiliki banyak anak.
Anak-anak di tempat ini, kata Madzkur, pada umumnya tidak sekolah formal. Mereka belajar agama di sekolah gereja, itupun sampai setingkat SMA.
“Nyaris tidak ada yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Mereka lebih memilih mengembangkan ekonomi di desanya daripada menghabiskan uang untuk kuliah," bebernya.
Ketika Madzkur bertanya pada anak-anak tersebut, “Apa kalian punya HP?”. Mereka dengan sigap menjawab “Tidak”. “HP itu hanya untuk bisnis, bukan untuk yang lain", kata Madzkur menirukan Jawaban anak-anak diperkampungan itu.
Madzkur berkesimulan, bahwa hal ini adalah salah satu bentuk perlawanan orang disana terhadap Globalisasi. Dalam pandangan mereka Globalisasi akan menghancurkan ekonomi dan identitas lokal dengan nilai -nilai luhur yang dianut.
“Tentu saja saya tidak setuju dengan model kehidupan mereka yang menutup diri dari komunitas lain. Karena selain kita sebagai mahluk sosial yang saling ada ketergantungan satu dengan yang lain. Islam juga mengajarkan bahwa kita diciptakan oleh Allah terdiri dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa agar satu dengan yang lain saling mengenal. (QS. Al-Hujurat ayat 13). Namun, kemandirian dan keteguhannya menjaga tradisi yang mereka anggap luhur di tengah gemerlap dunia Amerika, patut saya angkat topi,” ucapnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rochmat Shobirin |