Untuk Syria, Kunto Hartono Berhasil Pecahkan Rekor Dunia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Lega sudah perasaan Kunto Hartono, 'Sang Drummer Sakti' dari Surabaya. Usai menyelesaikan rekor dunia 'The Longest Drumming 100 Hours by A Team' di Forum Castelo Branco, Portugal selama 20 - 24 September 2017 lalu.
Meskipun tanpa dukungan, tak membendung niatnya untuk menghadiri undangan berskala internasional dengan misi kemanusiaan ini.
Advertisement
Menggandeng Unicef, mengumpulkan donasi bagi anak - anak korban perang Syria. Kunto tak sendiri, setidaknya ada empat drummer yang terlibat dalam perhelatan kali ini.
Penampilan Drummer Sakti dalam The Longest Drumming 100 Hours by A Team di Forum Castelo Branco, Portugal, Kamis (28/9/2017). (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Mereka berlima bermain secara tim, Alister Brown (UK), Carlos Santos (Portugal), Lou Mars (USA), dan Steven Gaul (Kanada).
Saat dijumpai di rumahnya Kawasan Jalan Hayam Wuruk Dodik Surabaya, Kunto terlihat santai meskipun dengan raut wajah yang masih lelah, Kamis (28/9/2017).
Ia mulai bercerita sambil menunjukkan sederetan piagam penghargaan dari Guinnes Book of World Records dan medali kebanggaan yang baru saja ia peroleh usai event akbar di Eropa kemarin.
"Memerlukan butuh perjuangan untuk sampai di sana. Selain tenaga juga materi," tuturnya mulai bercerita.
Santer terdengar kabar sebelumnya, Kunto sama sekali tidak mendapat support secara finansial dari tanah air. Banyak yang sudah ia korbankan, termasuk menjual 'harga diri'.
"Aku sudah menjual 'harga diri', meminta bantuan kepada pemerintah maupun banyak pihak untuk membantu keberangkatanku waktu itu, tapi tidak ada hasilnya," ucap Kunto mengungkapkan kekecewaannya, Kamis (28/9/2017).
Bermodal tekad dan niat untuk kemanusiaan serta mengharumkan nama bangsa, segala kendala itu tak membuatnya surut. Hingga akhirnya bermodal dana sendiri ia mampu terbang ke Portugal, didampingi seorang translatter pada 18 September lalu.
Sementara sang istri, menyusul sehari kemudian. Menempuh waktu 27 jam perjalanan sempat membuat Kunto merasakan jet lag.
"Sempat merasakan jet lag karena perjalanan 27 jam dan terkait finansial tidak ada support sama sekali," cerita Kunto.
Kenangan bersama empat drummer pemecah rekor dunia dari berbagai belahan negara, Kamis (28/9/2017). (Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Namun kekecewaan itu terbayar begitu sampai di Portugal. Sambutan untuknya begitu luar biasa.
"Di sana sudah tidak memikirkan finansial, tapi bagaimana aku bisa memecahkan rekor dunia 100 jam," imbuhnya.
Tepat 20 September, ia mulai beraksi bersama empat drummer lainnya. Ketatnya waktu, membuat Kunto sempat merasakan drop pada hari kedua, tepat jam satu siang bagian Portugal.
Kunto merasakan sebuah halusinasi rekam jejak panggung berbagai tempat di mana ia pernah memecahkan rekor dunia sebelumnya. Dan tanpa sadar mengeluarkan beberapa logat Suroboyoan di depan penonton yang tentu saja tidak mengerti akan ucapannya tersebut.
"Aku sempat berhalusinasi, merasa berada di panggung - panggung tempatku memecahkan rekor dunia, dan mengajak ngobrol penonton dengan bahasa Suroboyoan yang tentu saja mereka nggak ngerti," kisah pria kelahiran Banyuwangi ini.
Dibanding yang lainnya, Kunto lebih gila. Bahkan ia tak memakai sarung tangan sama sekali sampai hari terakhir.
Sementara Carlos Santos sempat mengalami luka ringan pada sela jari, Lou Mars cedera pada pergelangan tangan dan mundur di jam ke -82,
di mana pada jam ini merupakan penentu pecahnya rekor dunia baru secara tim memecahkan Guinnes Book of World Records sebelumnya.
"Paling parah keluhan dari teman - teman adalah tangan, sementara aku di kaki. Padahal aku nggak pakai sarung tangan," ungkap Kunto.
Masalah lain yang ia rasakan adalah genre lagu terlalu slow. Kunto yang terbiasa bermain atraktif dan mengiringi lagu berirama rancak ini sempat merasa down.
Beberapa lagu berat seperti dari Metallica maupun Rage Against The Machine (R.A.T.M) membuatnya lebih segar.
"Sempat down karena kebanyakan lagu telenovela. Sound control terbesar di aku, untuk lagu - lagu berat. Pada jam ke-82 untuk menandai pecahnya rekor dunia tim baru, aku juga minta agar mataku ditutup sambil nge drum selama 30 menit," imbuh pria yang nyaman dengan rambut panjangnya ini.
Kunto juga pernah melakukan hal serupa saat mengumpulkan donasi bagi pengungsi Rohingya beberapa waktu lalu di Surabaya.
"Mereka tahu kebiasaanku di Indonesia nge drum dengan mata tertutup," ucap suami dari Feny Rediana tersebut.
Setiap naik panggung, Kunto selalu memperoleh applaus meriah dari berbagai kalangan penonton yang hadir.
"Mungkin melihat kontestan terjauh, paling bule, dan faktor historical saya membalas kedatangan Vasco da Gama 1511 silam," ujarnya. Kunto juga mengatakan sempat datang ke makam Vasco da Gama di Lisbon.
Tepat pada pukul lima sore, 24 September, rekor dunia itu pun akhirnya pecah. Selama seratus jam menggebuk drum dan pengumpulan donasi berjalan kondusif, target Rp 100 miliar diperkirakan terpenuhi bahkan bisa jadi lebih.
Bertubi pujian diterima oleh kelima drummer. Tak terkecuali Kunto, yang mendapat sanjungan dari sahabatnya dalam menggagas event ini pada 2015 silam, yaitu Carlos Santos.
"Salut dengan stamina Kunto, karena dia datang terakhir sendiri waktu itu. Ini sebenarnya tidak mungkin dilakukan tapi ternyata bisa, dan mereka semua memang mumpuni," puji drummer Portugal ini melalui video call.
Langkah selanjutnya, Kunto bermimpi bisa menggebuk drum di atas puncak Cartenz selama 26 jam. Terdekat, beraksi di atas trailer dari Jakarta menuju Palembang dalam ajang perhelatan SEA GAMES, dan nge drum di atas ketinggian 45000 kaki menggandeng sebuah maskapai penerbangan.
"Itu impian saya selanjutnya," pungkas Kunto. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rizal Dani |
Sumber | : TIMES Surabaya |