Peristiwa Nasional

Radikalisme Berpotensi Meningkat Jika Ba’asyir Meninggal di Penjara

Sabtu, 26 Januari 2019 - 10:47 | 282.84k
Abu Bakar Ba’asyir. (FOTO: tribunnew)
Abu Bakar Ba’asyir. (FOTO: tribunnew)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Rencana pembebasan bekas Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir oleh pemerintah menuai pro-kontra. 

The Islah Center, lembaga yang peduli terhadap isu terorisme dan radikalisme mengajak masyarakat agar tidak ikut berpolemik dalam rencana pembebasan pendiri Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) ini. 

Advertisement

Ketua Departemen Riset The Islah Center, Agus Khudlori mengungkapkan, rencana pemerintah beberapa hari lalu untuk membebaskan Abu Bakar Baasyir dengan alasan kemanusiaan itu kurang tepat. 

Pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah yang “mengkaji ulang” wacana tersebut. 

Agus-Khudlori.jpgKetua Departemen Riset The Islah Center, Agus Khudlori. (FOTO: Istimewa)

Dia mengusulkan, pemerintah sebaiknya menjadikan Ba’asyir tahanan rumah sehingga mudah dipantau, alih-alih membebaskannya. 

Pasalnya, pembebasan Ba’asyir beresiko menguatkan kembali paham takfiri yang menjadi embrio terorisme di berbagai negara, termasuk Indonesia.  

Selain itu, Agus juga mengungkapkan beberapa alasan lain yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam rencana pembebasan Ba’asyir. 

“Kami minta masyarakat tidak ikut berpolemik. Sebab, pertama, kalau benar Jokowi politis terhadap rencana pembebasan ini karena mendekati momentum Pilpres, harus diketahui bahwa pengikut Abu Bakar Baasyir bukanlah orang-orang yang menerima demokrasi, dan justru menganggap demokrasi adalah sistem kafir. 

Sehingga, secara pertimbangan elektoral, sebenarnya suara mereka tidak bisa diharapkan, apalagi mereka minoritas.” 

Pertimbangan lainnya, lanjut Agus, pemerintah tidak ingin menimbulkan kegaduhan publik jika nantinya Abu Bakar Ba’asyir meninggal dunia di penjara sebelum dibebaskan. 

Apalagi, saat ini usia Ba’asyir sudah terbilang senja, 81 tahun. Pemerintah, menurutnya, bisa dituduh macam-macam seperti menzalimi ulama, menyiksa ulama, dan lain-lain. 

“Dan yang lebih berbahaya dari itu, jika sampai ABB meninggal di penjara, ada potensi meningkatnya radikalisme atas nama solidaritas terhadap umat Islam ataupun ulama, baik dari kalangan pendukung ABB sendiri maupun dari kelompok lain yang mempolitisir isu terorisme. Itu yang perlu dihindari,” terang Agus. 

Agus mengimbau masyarakat agar tidak terlalu mudah dan latah menyebut seseorang ulama. Apalagi jika nyata-nyata orang tersebut terbukti mengajarkan terorisme dan radikalisme. “Seorang ulama tidak mungkin mengajarkan terorisme,” katanya. 

Mengenai polemik syarat “Ikrar setia terhadap NKRI dan Pancasila” yang harus diteken Ba’asyir jika ingin bebas, Agus menyatakan itu domain pemerintah, khususnya Presiden. 

Namun, pihaknya berharap pemerintah lebih mengedepankan maslahat publik dibanding hanya sekadar tanda tangan ikrar setia dari Ba’asyir seorang. 

“Menghindarkan NKRI dari ancamanan bahaya radikalisme itu lebih penting dibanding maslahat satu orang. Kaidahnya, dar`ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih. Mengantisipasi terjadinya kerusakan itu harus didahulukan dibanding mengambil keuntungan. Jadi, win-win solution-nya menurut kami adalah dijadikan tahanan rumah,” tegas alumni Universitas al-Azhar, Mesir, ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES